REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum Henri Subiakto mengajak masyarakat Indonesia untuk mengenal lebih dekat ciri-ciri hoaks dan penyebar kabar bohong serta ujaran kebencian. Ia menunjukkan cara mengenal ciri-ciri hoaks guna menghindari konsekuensi hukum yang berlaku bagi penyebar maupun yang hanya sekadar membagikan.
Henri juga mengingatkan masyarakat untuk tidak ikut menyebarkan informasi yang diterima di media sosial. Sebab, biasanya informasi tersebut seringkali mengajak dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat menimbulkan kebencian maupun amarah.
"Ciri-ciri hoaks kalau saat kita terima atau membaca informasi yang dapat membuat kita membenci orang lain atau kelompok tertentu, sehingga mereka menciptakan adanya kebencian, kekhawatiran dan permusuhan," tutur Henri, Selasa (15/1) dalam keterangannya.
Henri mencontohkan salah satu pesan teks yang biasanya dijumpai misalnya dengan mengatakan, 'Indonesia ini bisa hancur'. Hal ini terjadi dan memunculkan ketakutakan dari masyarakat, bahkan dapat menciptakan permusuhan.
"Biasanya juga diminta untuk memviralkan dengan kata-kata 'minta diviralkan, minta disebarkan, jangan berhenti disini kalau berhenti di sini tidak masuk surga' itu justru ciri-ciri hoaks yang seharusnya jangan sampai disebarkan lebih luas lagi," ujar Henri.
Henri mengatakan, bukan hanya pembuat hoaks yang akan berhadapan dengan hukum, namun juga penyebarnya. Hal ini sebagaimana yang diterapkan melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 ayat 2 yang berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dapat dijerat dengan hukum pidana".