Selasa 15 Jan 2019 10:48 WIB

LIPI: Indonesia tak Miliki Standar Huntara Penyintas Bencana

Huntara yang kini dibuat cenderung mengabaikan karakteristik lokal dan partisipasi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Ratna Puspita
Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun warga korban gempa secara swadaya di Desa Kerandangan, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, NTB.
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun warga korban gempa secara swadaya di Desa Kerandangan, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, NTB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap, selama ini pemerintah Indonesia belum memiliki standar hunian sementara (huntara) bagi para penyintas atau korban bencana alam. Maksudnya, huntara yang kini dibuat cenderung mengabaikan karakteristik lokal dan partisipasi masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya yang baru pasca terjadi bencana.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti menekankan pentingnya proses pemulihan pascabencana khususnya terkait dengan tempat tinggal dan sumber penghidupan dengan menggunakan pendekatan people-centered. “Penanganan bencana kita masih lebih difokuskan pada aspek infrastruktur fisik. Padahal aspek sosial tidak bisa ditinggalkan, karena jika ada pengabaian maka penyintas akan menyebabkan risiko baru akibat gagalnya penyesuaian mereka,” jelas Nuke dalam Seminar Hasil Penelitian Tim Kaji Cepat Pascabencana di Sulawesi Tengah di Gedung LIPI Jakarta, Selasa (15/1).

Dia menegaskan bahwa permasalahan dalam penanganan pascabencana memerlukan kajian yang terintegrasi dan multidisiplin dengan menempatkan ilmu sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Terlebih, karakteristik lokal di daerah terdampak bencana berbeda-beda.

“Misalnya belum lama ini terjadi 3 bencana besar daerah berbeda yaitu Palu, Lombok dan Selat Sunda. Tiga karakteristik bencana kemarin berbeda, dengan kondisi lokal yang berbeda jadi penangangannya pascabencana juga berbeda,” jelas dia. Karena itu dia mendorong agar adanya sinergitas dari semua pihak untuk merumuskan dan mewujudkan standar huntara tersebut. 

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Gusti Ayu Ketut Surtiarti menemukan beberapa masalah terkait huntara dari hasil kaji cepat pascabencana di Palu, Sigi dan Donggala. Antara lain kualitas huntara beragam yang berpotensi kesenjangan sosial, fasilitas MCK dan air bersih menjadi kendala, sumber penghidupan masih sulit, fungsi huntara untuk pemulihan psikologi masih kurang mendapat prioritas.

Kemudian kurangnya keterlibatan dalam perencanaan dan pembangunan huntara, bahkan tidak melibatkan RT dan RE. Minimnya informasi mengakibatkan adanya penolakan untuk menerima huntata dan mendesak ganti rugi berupa uang tunai dan beberapa masalah lain.

Padahal, kata dia, seharusnya pemulihan tempat tinggal menekankan konsep aman, nyaman, sehat dan berfungsi pemilihan psikis dalam pemulihan tempat tinggal. “Jadi memang perlu ada pengawasan dalam menjaga kualitas standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga para penyintas tidak menjadi lebih rentan tetapi kembali perlahan ke kehidupan yang normal,” ucap dia.

Dia juga menegaskan pentingnya informasi akurat tentang mikrozonasi untuk menyesuaikan tempat tinggal dengan tingkat kerawanan bencana. Informasi yang komperhensif terkait kerawanan terhadap bencana ditempat tinggal sebelum bencana serta rencana lokasi untuk pembangunan hunian baru akan membantu proses dalam keberhasilan relokasi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement