Ahad 13 Jan 2019 23:10 WIB

Warga tak Setuju Biaya Ganti Rugi Tol Kunciran

Masih ada 72 KK yang memilih bertahan.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Endro Yuwanto
Petugas pintu tol Kunciran 2 mengarahkan kendaraan ke pintu tol, Tangerang,Banten, Ahad (15/4).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Petugas pintu tol Kunciran 2 mengarahkan kendaraan ke pintu tol, Tangerang,Banten, Ahad (15/4).

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Proyek pengerjaan jalan Tol Kunciran-Bandara Soekarno-Hatta belum sepenuhnya disetujui oleh warga. Sebanyak 72 kepala keluarga (KK) di Kelurahan Juru Mudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, belum menyetujui biaya ganti rugi untuk lahan dan bangunan miliknya.

Sa'amah, salah satu warga yang terdampak proyek strategis nasional, itu mengaku bingung harus mengadu kepada siapa. Perempuan berusia 80 tahun itu tak mau rumahnya digusur. Pasalnya, biaya pengganti yang ditawarkan tak sesuai dengan keinginannya.

"Saya minta tolong ini diurus. Saya gak tahu itu luasnya, saya mah gak sekolah," kata dia saat ditemui Republika.co.id di lokasi, akhir pekan lalu.

Beberapa rumah di area itu telah rata dengan tanah. Tetangga Sa'amah yang memilih menerima ganti rugi juga banyak yang pindah.

Perempuan yang biasa dipanggil Nyai itu memilih tetap bertahan. Rumahnya masih berdiri kokoh dengan luas sekitar 60 meter persegi. Ada juga warung kelontong di samping rumahnya, tempat dirinya berjualan untuk menyambung hidup.

Sementara di samping rumahnya juga menyatu dengan dua rumah anak-anaknya. "Itu tanah saya mau dibayarin 1,8 juta per meter. Tanah mah beli di mana segitu sudah gak dapat," kata perempuan yang memiliki empat anak lelaki dan dua anak perempuan itu.

Sejak lahir, Sa'amah mengaku telah tinggal di tempat itu. Sejak ada isu rumahnya akan terkena gusuran untuk proyek jalan tol, suaminya mulai sakit-sakitan. Kini, setiap disinggung soal jalan tol, suaminya marah. Tak mau rumahnya dipindah. "Bapak juga sudah sakit lima tahun. Stres. Kalau obat abis jadi suka marah," kata Sa'amah.

Perempuan lanjut usia itu sebenarnya telah pasrah untuk digusur dari tanah yang notabene memiliki sertifikat atas nama suaminya. Asalkan, ia bisa membeli rumah kembali dari uang ganti rugi yang dibayarkan. "Saya harapannya mah bisa kebeli rumah lagi. Anak sudah nikah semua, tinggal di sini semua. Anak satu doang yang kerja," katanya mengeluh.

Piih, ketua RT 01/01 Kelurahan Jurumudi juga menjadi salah satu warga yang terdampak. Rumahnya yang memiliki luas lahan dan bangunan sekitar 380 meter persegi, hanya diganti rugi senilai Rp 1,8 miliar. Alhasil dia menolak dan melawan.

Jalan pengadilan sudah ditempuh. Namun, tiga kali masuk pengadilan, warga selalu kalah. Kini, gugatan itu sedang diproses di Mahkamah Agung (MA).

Melawan bertahun-tahun, satu per satu warganya pun mulai pindah. Ada yang menyerah, ada pula yang pasrah.

Persis di pinggir pengerjaan proyek rumah Piih berdiri. Hanya dibatasi sepenggal aliran comberan. Bisingnya pengerjaan proyek, hampir setiap hari didengarnya. "Rumah saya sudah mulai retak karena alat berat," kata dia.

Piiha mengatakan, perlawanan menempuh jalur hukum dilakukan karena sejak awal warga tak pernah diajak musyawarah dalam menentukan harga. Karena itu, ketika nilai tanah ditetapkan banyak warga yang kecewa. Apalagi, lanjutnya, ada banyak harga yang berselisih jauh.

Meski tersisa sedikit, warga masih melakukan perlawanan. Mereka berharap, harga tanahnya bisa dbayar dengan angka yang wajar.

Ucok, yang juga salah satu warga terdampak, mengatakan, lahan dan rumah miliknya yang memiliki 200 meter persegi hanya akan dibayar Rp 1,099 miliar. Menurut dia, uang itu tak akan cukup untuk dibelikan rumah baru dengan luas yang sama. "Padahal itu di depan, lahan sawah dibayar Rp 7 juta per meter. Masa rumah warga cuma segini," kata dia.

Ucok tak mau disebut sebagai penghalang negara untuk melakukan pembangunan. Ia bersama warga hanya ingin mendapat keadilan. Setidaknya, kata dia, ganti rugi yang masuk akal. "Jadi kita bisa pindah dengan tenang," kata dia.

Kuasa Hukum warga yang terdampak proyek tol itu, Ewi mengatakan, ada 72 KK bersama dirinya yang masih bertahan. Ia telah mengajukan gugatan ke MA agar permintaam warga dikabulkan. "Sudah ada upaya negosiasi, tapi mereka (kontraktor) tak terima. Kami tinggal menunggu MA," kata dia.

Menurut Ewi, jika gugatan warga dikabulkan MA, warga akan menerima biaya ganti rugi seperti yang dikehendaki. Namun, jika MA menolak, mau tak mau warga menerima ganti rugi yang ada. "Kalau secara fakta hukum, itu harusnya 99 persen diterima. Tapi karena independensi hakim, kami lihat akan sulit. Kita banyak pengadilan tapi tak pernah menemukan keadilan," kata dia pesimistis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement