Jumat 11 Jan 2019 21:27 WIB

YLKI: Cukai Rokok tak Naik, BPJS Kian Defisit

Tanpa kenaikan cukai harga rokok menjadi murah dan mendorong penyakit katastoprik.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak naiknya cukai rokok pada 2018-2019 menjadi salah satu penyebab defisitnya keuangan BPJS Kesehatan. Tanpa kenaikan cukai, harga rokok menjadi murah sehingga memicu peningkatan kasus penyakit tidak menular.

"Buntut dari melambungnya penyakit tidak menular adalah kinerja BPJS Kesehatan yang makin empot-empotan. Dan klimaksnya mengalami financial bleeding, yang pada 2018 mencapai Rp 16,5 triliun," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi dalam konferensi pers tetang "Refleksi Pengendalian Tembakau 2018" di Jakarta, Jumat.

Tulus menyebut kenaikan cukai rokok sangat minim yaitu sebesar 10,14 persen pada 2017 dan tidak dinaikkan sama sekali pada 2018 dan 2019. Dengan kondisi tersebut saat ini, besaran tarif cukai rokok baru mencapai 38 persen dari harga ritel.

Padahal amanat UU tentang Cukai, cukai rokok bisa dinaikkan hingga 57 persen. Bahkan rata-rata internasional untuk cukai rokok berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) berada pada 75 persen dari harga ritel.

Baca juga, Solusi Selamatan BPJS Kesehatan.

Rendahnya cukai rokok ini menyebabkan harga rokok di pasaran menjadi sangat murah, bahkan bisa dibeli secara satuan atau ketengan yang mudah dibeli oleh kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, dan kalangan rumah tangga miskin.

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi merokok pada usia 10 sampai 18 tahun, atau dalam kategori anak-anak, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Tulus menyebut lebih dari 35 persen orang Indonesia adalah perokok dan 70 persennya merupakan perokok pasif, dan 70 persen perokok berasal dari kalangan keluarga miskin.

Rokok memang bukan satu-satunya penyebab penyakit tidak menular, namun kebiasaan merokok menjadi salah satu sebab terbesar dari penyakit katastropik yang terus meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan kenaikan pada prevalensi penyakit tidak menular seperti penyakit kanker dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen di 2018. Kemudian stroke dari 7 persen menjadi 10,9 persen; penyakit ginjal kronik dari 2 persen menjadi 3,8 persen; dan diabetes melitus dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.

Melambungnya prevalensi penyakit tidak menular ini berkolerasi dengan gaya hidup seperti merokok, minimnya aktivitas fisik, minim asupan buah dan sayur, serta konsumsi minuman beralkohol.

"Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular adalah bukti pemerintah tidak melakukan pengendalian konsumsi rokok, yang secara de facto merupakan pencetus utama meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular," kata Tulus.

Adapun beban pembiayaan terbesar program Jaminan Kesehatan Nasional yang harus ditanggung BPJS Kesehatan berasal dari penyakit katastropik yang salah satunya disebabkan oleh konsumsi rokok.

Anggota Komnas Pengendalian Tembakau Jalal menolak mentah-mentah apabila ada seseorang yang mengatakan cukai rokok menyumbang pemasukan negara.

Menurut dia hasil cukai atau pajak denda yang didapat dari rokok masih lebih kecil jumlahnya dibandingkan nilai kerugian dari dampak negatif yang dihasilkan oleh rokok.

"Cukai itu denda dan nilainya sangat jauh dari kerusakan yang ditimbulkan. Sebanyak Rp149 triliun yang didapat dari cukai rokok, tapi kerugian kesehatan akibat rokok sebesar Rp596 triliun," kata Jalal.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement