REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hoaks dan ujaran kebencian merajalela menjelang Pemilihan Umum Presiden 2019 dinilai akibat masih belum maksimalnya penegakan hukum di Indonesia. Namun, praktisi hukum Suhardi Somomoeljono mengakui, bahwa pemberantasan hoaks dan ujaran kebencian melalui penegakan hukum memang bukan hal yang mudah.
"Karena derasnya arus penyebaran hoaks yang begitu mudah pada era kemajuan teknologi sekarang ini," kata Suhardi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (10/1).
Menurut dia, penegak hukum cukup kewalahan mengangkat seluruh kasus hoaks dan ujaran kebencian ke ranah penegakan hukum. "Alhasil, kebijakan dalam penegakan hukum yang dipilih kepolisian adalah memilih dan memilah secara subjektif, mendahulukan kasus yang dipandang mendesak untuk melindungi kepentingan umum," katanya.
Untuk membendung hoaks dan ujaran kebencian, menurut Suhardi yang diperlukan bukan sebatas penindakan hukum, melainkan juga politik hukum yang mendukung. Untuk itu, Suhardi memandang perlu sinergi yang kuat di antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Jika kebijakan legislasi nasional secara spesifik dan proporsional serius diarahkan untuk menanggulangi hoaks, perbuatan-perbuatan yang mengarah pada ujaran kebencian dapat dibendung secara signifikan," kata Suhardi.
Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Habiburokhman, merasa pihaknya selalu menjadi korban dalam isu hoaks yang berkembang di tengah masyarakat. Kasus hoaks terakhir adalah soal tujuh kontainer surat suara pemilu yang sudah tercoblos.
"Ada framing seolah kami kubu penyebar hoaks," ujar Habiburokhman, Kamis (10/1).
Habiburokhman menyampaikan, pihaknya sering dikait-kaitkan dengan hoaks yang belakangan terjadi. Meskipun, secara hukum tidak pernah terbukti, framing dengan mengait-ngaitkan itu sudah merugikan pihaknya.
"Hoaks ini berkembang menjadi sebuah alat perang dalam konteks psikologi media sosial. Yang jelas kami selalu menjadi korban, dan juga tentu masyarakat Indonesia. Kami sering dikaitkan dengan hoaks ini itu," ujar Habiburokhman.