REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebagian besar pelaku usaha hotel memahamipencabutan moratorium di Yogyakarta sebagai antisipasi kehadiran New Yogyakarta International Airport (NYIA). Tapi, langkah itu kurang disambut baik masyarakat Yogyakarta.
Pemkot Yogyakarta selama ini memang dikenal memiliki kebijakan-kebijakan yang cukup dekat masyarakat. Melalui program Gandeng Gendong misal, Pemkot mampu memadukan lima elemen mulai kota, korporasi, kampus, kampung dan komunitas.
Sayang, untuk pembangunan hotel, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Yogyakarta jarang mendapat sambutan masyarakat. Cukup banyak masyarakat yang melakukan penolakan terhadap pembangunan hotel.
Bahkan, di kampung-kampung sekitaran Kantor Wali Kota Yogyakarta saja, sempat bermunculan spanduk-spanduk penolakan pembangunan hotel dan restoran beberapa tahun lalu. Hal itu sedikit banyak menunjukkan penolakan masyarakat.
Penolakan memang bukan tanpa alasan. Pasalnya, Kota Yogyakarta sudah menjadi kabupaten/kota yang paling banyak memiliki hotel. Artinya, kepadatannya cukup tinggi untuk mengizinkan lagi hotel-hotel dibangun.
Kondisi itu sempat berubah saat kebijakan moratorium izin pembangunan hotel di Kota Yogyakarta hadir. Walau secara lansung itu menjadi arahan Pemprov DIY, kebijakan itu mendapat apresiasi tinggi masyarakat.
Sayang, kebijakan moratorium yang baru dimulai 2014 sudah berhenti saat usianya belum lima tahun. Padahal, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri, pada beberapa kesempatan sempat mengungkapkan keinginan memperpanjangnya.
Salah satu warga Yogyakarta, Dian Dewi menilai, hotel-hotel yang ada di Yogya sudah cukup banyak. Ia malah merasa, jumlah hotel yang ada saat ini saja kerap membuat macet jalan-jalan di Kota Yogyakarta.
"Yang sekarang saja sudah sering bikin macet karena ke luar masuk kendaraan, apalagi ditambah," kata Dian saat ditemui di salah satu kafe di Yogyakarta, Kamis (10/1).
Senada, warga Yogyakarta lain, Rasyid, mengaku sejauh ini hotel-hotel di Yogyakarta sudah cukup banyak. Ia berpendapat, kondisi itu cukup membuat padat Kota Yogyakarta, terutama pada akhir pekan.
Ia menyarankan, pembangunan hotel-hotel dialihkan ke kabupaten/kota lain yang ada di DIY. Misalnya, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul, atau Kabupaten Kulonprogo agar dekat bandara baru. "Mending di Bantul atau Gunungkidul biar dekat pantai-pantai, atau Kulonprogo biar wisatawan tidak terlalu jauh," ujar Rasyid.
Sementara itu, para pelaku usaha hotel di Yogyakarta memang tidak banyak keberatan moratorium pemberian izin pembangunan hotel dicabut Pemkot Yogyakarta. Mereka memahami itu sebagai antisipasi kehadiran New Yogyakarta International Airport (NYIA).
GM Lynn Hotel Yogyakarta, Bambang Kusno menilai, kebijakan untuk mencabut moratorium itu pasti sudah dipikirkan matang-matang. Salah satunya karena kebutuhan penginapan saat NYIA aktif pasti sangat tinggi. "Jadi, pasti banyak orang yang akan datang ke Yogyakarta, dan itukan perlu akomodasi, jadi saya menyambut baik," kata Bambang.
Menurut Bambang, tinggal ditegaskan lagi pengawasan dari Pemkot Yogyakarta, dan kepatuhan dari pengusaha-pengusaha hotel. Ia merasa, kebijakan moratorium itu akan berjalan baik jika semua elemen mematuhi aturan yang ada.
Selain itu, Bambang mengungkapkan, selama ini komunikasi para pengusaha hotel dengan wadah-wadah seperti Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sangat baik. Sehingga, apa saja peraturan yang ada bisa disosialisasikan dengan baik.
"Asal kita semua berjalan dalam relnya saya pikir bagus, kalau semua mengikuti peraturan pemerintah semuanya akan enak, pemerintah menetapkan sesuatu pasti berdasarkan hajat hidup orang banyak," ujar Bambang.