REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persebaran berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), hoaks dan ujaran kebencian semakin merajalela, bahkan cenderung liar.
Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) sebenarnya sudah cukup menjerat para pelaku penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Namun itu ternyata tidak membuat mereka jera, apalagi takut.
“Hoaks dan ujaran kebencian jelang Pilpres 2019 ini memang merajalela. Mungkin ini akibat masih belum maksimalnya penegakan hukum di Indonesia. Memang sudah ada UU ITE, tetapi itu akan lebih berkualitas dan mengena bila sinergitas Trias Politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) diperkuat dalam bentuk kebijakan hukum sesuai fungsi kelembagaan masing-masing,” ungkap praktisi hukum, Suhardi Somomoeljono, di Jakarta, Kamis (10/1).
Ia melanjutkan, UU ITE dan UU lainnya terkait dengan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian tidak akan berarti apa-apa jika politik hukum atau legal policy dalam penegakan hukum dari suatu negara tidak dibarengi dengan keberanian dan kemampuan memberi ruang yang lebih luas dengan mengedepankan teori yang bersifat diskresioner (kebebasan mengambil keputusan sendiri). Hal inilah yang kadang membuat penegakan hukum terkait hoaks dan ujaran kebencian menjadi tidak maksimal.
Menurutnya, hoaks dan ujaran kebencian dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi informasi tidak mungkin diberantas dengan mudah melalui penegakan hukum. Hal tersebut disebabkan derasnya arus penyebaran hoaks yang begitu mudah di era kemajuan teknologi ini. Akibatnya aparat penegak hukum (polisi) cukup kewalahan mengangkat seluruh kasus hoaks ke ranah penegakkan hukum.
Alhasil, kebijakan dalam penegakan hukum yang dipilih kepolisian adalah memilih dan memilah secara subyektif yang dipandang urgent untuk melindungi kepentingan umum.
“Jika kebijakan legislasi nasional secara spesifik dan proporsional serius diarahkan untuk menanggulangi hoaks, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah pada ujaran kebencian dapat dibendung secara siqnifikan,” ungkap Suhardi.
Di Indonesia, lanjut Suhardi, saat ini sedang terjadi masa transisi menuju cita hukum ideal yang berkeadilan dalam mekanisme sistem politik demokrasi liberal.
“Harapan saya dalam rangka mencapai cita ideal tersebut kerangka dasarnya terkait dengan substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum, filosofisnya harus ditata kembali (restorasi), dengan menggunakan instrumen kebijakan legislasi nasional. Jika tidak segera dilakukan maka hukum di Indonesia akan senantiasa kesulitan dalam mencapai cita ideal tersebut,” kata pengajar di Universitas Mathlaul Anwar Banten ini.