REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gumanti Alawiyah, Febrianto Adi Saputro
JAKARTA -- Suhu panas politik menjelang Pilpres 2019 mendadak berubah agak dingin atas kemunculan pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo. Beragam foto Nurhadi-Aldo dengan pesan-pesan "kampanye politik" yang lucu dan menggelitik tersebar luas di dunia maya.
Atas fenomena ini, pengamat politik Silvanus Alvin menilai kehadiran Nurhadi-Aldo menjadi bukti bahwa masyarakat jenuh dengan perilaku para elite politik saat ini. Fenomena pasangan tersebut sebenarnya adalah wujud dari satir politik sebagai bagian dari politik tandingan atas hegemoni pertarungan Jokowi dan Prabowo.
Alvin menjelaskan kemunculan Nurhadi-Aldo ini sebenarnya lampu kuning bagi para elite politik. Menurut dia, satir politik tidak muncul tanpa sebab.
"Bila publik tertawa melihat unggahan di media sosial capres-cawapres fiktif maka itu sah-sah saja. Namun, kalau politikus yang tertawa, artinya mereka tidak paham kalau isi satir itu bukan lelucon belaka, tapi ada ironi atau kritik sosial di dalamnya," kata Alvin, Selasa (8/1).
Satir merupakan protes atau sindiran menggunakan bahasa atas situasi yang terjadi. Satir bisa dilakukan dengan cara halus maupun kasar. Apa yang dilakukan Nurhadi-Aldo masih dalam bentuk satir politik halus.
Dosen di Universitas Bunda Mulia Jakarta ini memberi contoh dari salah satu unggahan Nuhadi-Aldo di media sosial yang menyoroti persoalan kemakmuran petani. Ia mengatakan, hal itu tidak boleh ditanggapi sebagai candaan, elainkan sebagai bentuk sebuah kritik pada pemerintah maupun politikus saat ini yang kurang memerhatikan para petani.
Pesan satir lain yang disampaikan oleh Nurhadi-Aldo memang mengandung unsur humor. Alvin menyebutkan, banyak penelitian telah membuktikan pesan bernada humor lebih menarik, mudah diserap masyarakat, dan pesan politik satir bernada humor ini lebih menarik dikonsumsi bagi pemilih pemula.
"Isu Nurhadi-Aldo pasti viral di kalangan generasi milenial. Tentunya, unggahan tersebut lebih mudah dinikmati daripada berita-berita politik pada umumnya. Alhasil, generasi milenial hanya menerima informasi bersifat negatif dengan kondisi politik di Indonesia," kata Alvin.
Ia mengingatkan bila hal ini dibiarkan maka ujungnya adalah sikap apatis dari para generasi milenial. Alvin mengajak agar perlu ada tindakan nyata atas satir-satir yang diunggah Nurhadi-Aldo.
Juga, jangan memanfaatkan momentum ini untuk free ride publicity. Pasalnya, hal itu akan semakin mempertegas elite politik hanya memikirkan nafsu politik semata untuk berkuasa.
Hal sama disampaikan pengamat politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno. Ia menilai kemunculan Nurhadi-Aldo yang viral di media sosial dinilai sebagai kritik satir masyarakat. Masyarakat, lanjut dia, dinilai sudah jengah atas kampanye Pilpres tahun 2019 yang tidak berkualitas, terjebak pada jargon, serta diksi yang sarkastis.
Sementara hal yang substansial terkait visi misi dan program kandidat jauh panggang dari api. Viralnya Nurhadi-Aldo dapat diartikan sebagai bentuk ekspresi masyarakat yang jengah dengan akrobatik para elit politik. Saat ini, ada cebong dan kampret yang selalu berebut paling benar serta klaim paling Islam.
“Akhirnya kebenaran jadi relatif, bukan realitas objektif. karena kebenaran soal selera cebong dan kampret,” tegas dia.