Kamis 03 Jan 2019 08:24 WIB

Hilangnya Kampung Adat Sirnaresmi di Hutan Lindung

Bencana longsor ini baru pertama kali terjadi di Sirnaresmi, Sukabumi.

Proses evakuasi korban longsor di Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi Selasa (1/1).
Foto: Republika/Riga Nurul Iman
Proses evakuasi korban longsor di Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi Selasa (1/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Riga Nurul Iman

Nama Kasepuhan Adat Sirnaresmi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, mengemuka dalam peristiwa bencana longsor pada Senin (31/12) sore. Kasepuhan adat yang masuk dalam kesatuan adat Banten Kidul dan berada di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak tersebut memegang teguh adat dan budaya sunda.

Baca Juga

Selain itu, Kasepuhan Adat Sirnaresmi terkenal dengan menjaga dan mempertahankan serta melestarikam varietas padi lokal. ''Keberadaan kasepuhan ini sudah ada sejak abad ke-16 yang awalnya hidup secara nomaden,'' ujar putra ketua adat Kasepuhan Adat Sirnaresmi Abah Asep Nugraha Vilka Mandala, Selasa (1/1).

Abah Asep Nugraha merupakan generasi ke-10 di Kasepuhan Adat Sirnaresmi. Kasepuhan di kampung adat ini terutama bergerak dalam bidang pertanian. Ada sebanyak 68 varietas padi lokal di kasepuhan dan sebanyak 15 di antaranya diakui pemerintah.

Ciri khas kasepuhan ini, lanjut Vilka, lebih menunjukkan penjagaan terhadap kebudayaan Sunda. Misalnya, adat istiadat serentaun yang sudah dilakukan sebanyak 440 kali. Keunikan lainnya ciri rumah di Kasepuhan Adat Sirnaresmi berbeda dengan yang lain. Rumah tersebut masih berbentuk panggung dan menggunakan bilik serta atap rumbia dan dilapisi ijuk.

Rumah-rumah tersebutlah yang pada Senin (31/12) sore diterjang bencana longsor. ''Mayoritas rumah di kampung yang terkena bencana itu bercorak kasepuhan adat atau sekitar 85 persen masih khas,'' kata Vilka. Rumah yang terkena bencana longsor mencapai sebanyak 30 unit.

Menurut dia, mayoritas warga di Kampung Cigarehong, Desa Sirnaresmi, yang terkena bencana merupakan bagian dari Kasepuhan Adat Sirnaresmi. Sementara, sebagian kecil lainnya masuk Kasepuhan Adat Ciptagelar dan Cipta Mulya.

Vilka menerangkan, bencana longsor ini baru pertama kali terjadi di Sirnaresmi. Sebelumnya, memang jarang terjadi bencana di kawasan tersebut. ''Saat ini warga yang terdampak bencana direlokasi ke rumah saudara terdekat,'' kata Vilka.

Sebabnya, warga di sana masih kerabat. Menurut Vilka, Kasepuhan Adat Sirnaresmi dipimpin oleh seorang kepala kasepuhan yang dikenal dengan abah. ''Apa yang dilakukan ketua adat akan diikuti oleh warganya,'' ujarnya.

Berkebalikan dengan keterangan itu, Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi Eka Widiaman mengatakan, Kampung Cimapag di Desa Sirnaresmi sudah dikenal sebagai daerah rawan bencana, terutama banjir dan longsor. Namun, warga tetap membangun permukiman di tempat tersebut.

“Sejak 2010 sebenarnya sudah sering terjadi longsor dan banjir di kecamatan ini,'' ujar Eka, Rabu (2/1). Sebab, daerah tersebut terdiri atas perbukitan yang rawan longsor.

Ia menekankan, wilayah itu menjadi target utama mitigasi bencana. Namun, penduduk di kawasan tersebut mempunyai adat berbeda dengan menempati wilayah yang mendekati area pertanian. Sementara, di sisi lain belum memikirkan kondisi bangunan yang ada.

Dampaknya, lanjut Eka, ketika curah hujan tinggi, terjadi pergerakan yang tumpah ke bawah menggerus tanah. Intinya kawasan tersebut rawan bencana, terutama pergerakan tanah dan tidak layak jadi permukiman. Eka menuturkan, saat ini prioritas pada evakuasi korban. Nantinya setelah tanggap bencana akan dilanjutkan dengan upaya rekonstruksi.

Danrem 061 Suryakencana Kolonel Inf M Hasan menambahkan, warga berladang di kawasan sekitar permukimannya di kawasan sekitar Taman Nasionak Gunung Halimun Salak. ''Sehingga, lahan tidak punya akar kuat dan kami berharap difungsikan kembali sebagai hutan,'' kata dia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan telah mengkaji lokasi terdampak longsor di Dusun Garehong, Desa Sirnaresmi. Kesimpulannya, daerah di sana mestinya dijadikan kawasan hutan lindung dan bukan pemukiman atau persawahan.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, penyebab utama longsor ialah hujan berintensitas rendah. Akibatnya, kemiringan lereng menjadi terjal hingga lebih dari 30 persen. Longsor juga diperparah karena penggunaan lahan untuk sawah dan tanaman semusim.

"Material penyusunnya tanah porus ini mudah serap air. Sifat tanah gembur juga mudah longsor. Harusnya jadi kawasan lindung bukan budi daya," kata dia, Rabu (2/1).

Sutopo menilai, peringatan dini sebenarnya sudah ada dalam peta prediksi longsor yang dikeluarkan BNPB. Semua masyarakat bisa mengaksesnya. Namun, masyarakat tetap tinggal di sana karena daerahnya subur memudahkan mereka yang berprofesi sebagai petani.

"Prinsipnya ada gula ada semut. Masyarakat tinggal di daerah subur. Harusnya dijadikan hutan atau konservasi bukan budi daya (tanaman)," jelas Sutopo.

Ia merasa prihatin dengan kondisi tersebut. Apalagi, masyarakat mengaku tak pernah mendapat pendidikan kebencanaan. Padahal, longsor dalam skala kecil sudah pernah terjadi sebelumnya, tetapi masyarakat tak tahu harus berbuat apa.

Sutopo melanjutkan, ini menjadi tugas bersama bahwa peta sudah ada, tapi masyarakat di sana minim mendapatkan info terkait ancamannya.

Diketahui, dari analisis di lokasi, panjang longsor dari mahkota longsor hingga ujungnya mencapai 800 meter dan luas delapan hektare. Sementara, kedalamannya bervariasi hingga mencapai 10 meter. (rizky suryarandika ed: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement