REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis Kehutanan Tosca Santoso mengatakan, tantangan terbesar dalam implementasi program perhutanan sosial adalah pendampingan pada masyarakat. Dengan keterbatasan pemahaman, mereka harus diberikan pendampingan dari tahapan persiapan hingga implementasi.
Tosca menjelaskan, pendampingan dibutuhkan agar tanaman yang ada di hutan sosial dapat menghasilkan nilai ekonomi dan ekologi secara maksimal. Menurut pengalamannya saat mendampingi petani di Sarongge, Cianjur, masyarakat bisa mendapatkan Rp 5 juta per bulan per 0,7 hektare.
"Total itu dari kopi maupun tanaman lindungnya," ujarnya dalam acara Dialog Refleksi Kinerja 2018 untuk Peningkatan Kerja Tahun 2019 di Gedung Kementerian LHK, Jakarta, Senin (31/12).
Jadi, Tosca mengatakan, perhutanan sosial merupakan program bagus dan kesempatan besar bagi para petani apabila mereka mendapatkan pendampingan dengan benar. Tidak hanya dari akademisi dan para ahli, juga pemerintah daerah hingga pusat.
Selain pendampingan, perbaikan birokrasi juga harus ditingkatkan dengan melibatkan pemerintah daerah secara maksimal. Sebab, pendapatan yang diraih dari program ini juga akan memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) daerah.
Tosca memberikan contoh area Cianjur yang memiliki area hutan hingga 70 ribu hektar. Apabila seperempatnya saja dimasukkan dalam program perhutanan sosial, akan tersedia area baru 17.500 hektare yang bisa produktif. "Dari total itu, bisa menambahkan PDB lokal hingga Rp 2 triliun jika masyarakat dapat menanam kopi di situ," ucapnya.
Potensi lainnya yang tidak kalah besar terletak di Kabupaten Bogor. Tosca menuturkan, kawasan hutan di sana mencapai 50 ribu hektare. Apabila seperempatnya dapat masuk ke perhutanan sosial, diperkirakan dapat menambah PDB hingga Rp 1 triliun sekaligus memperluas lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Tosca menganjurkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai kementerian teknis untuk memperluas kerja sama dengan kabupaten agar perhutanan sosial menjadi program unggulan mereka. "Selain itu, pemerintah pusat juga sebaiknya memfasilitasi pemerintah daerah dan pengelola hutan setempat untuk membuat Memorandum of Understanding (MoU) yang mencatatkan target perhutanan sosial di wilayahnya," katanya.
Dengan dua cara ini, Tosca optimistis, percepatan realisasi izin perhutanan sosial hingga ke tangan masyarakat dapat semakin cepat. Saat ini, realisasi izin baru menyentuh angka 2.504.197 hektare atau belum sampai 20 persen dari target Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni 12,7 juta hektare.
Sementara itu, Menteri LHK Siti Nurbaya memperkirakan, realisasi izin perhutanan sosial 12,7 juta hektare dapat terjadi pada lima sampai delapan tahun mendatang. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk membantu percepatan realisasi. "Ini memang tidak mudah karena menyangkut banyak pihak, tapi kami terus berupaya," ucapnya.
Siti menambahkan, hutan sosial merupakan kebijakan korektif Pemerintah Indonesia di Kabinet Kerja Presiden RI Joko Widodo guna memastikan bahwa keberadaan hutan harus dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara nyata.
Setidaknya, Siti mencatat, 25.800 desa dengan jumlah penduduk sekitar 30 juta orang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Program hutan sosial dinilainya mampu menjadi jawaban untuk mensejahterakan masyarakat yang 70 persen di antaranya menggantungkan hidupnya kepada keberadaan dan kelestarian kawasan hutan.
Siti menjelaskan, saat ini, masyarakat memiliki kesempatan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan secara berkelompok melalui pemberian akses legal selama 35 tahun. Selain itu, Kementerian LHK juga terus mendampingi masyarakat desa hutan agar dapat berusaha secara mandiri dan berkelanjutan.
Dengan cara ini, diharapkan proporsi masyarakat terhadap hutan dapat terus meningkat seiring dengan penurunan proporsi korporasi. Menurut catatan Kementerian LHK, proporsi korporasi pada 2014 sebesar 98,9 persen dan kini sudah berkurang menjadi 92 persen. Sedangkan, proporsi masyarakat pada 2014 hanya 1,1 persen yang kini meningkat menjadi 7,9 persen.
Jadi, Siti menuturkan, pemanfaatan hutan Indonesia tidak hanya dimiliki oleh pengusaha. "Tapi, yang lebih penting, masyarakat juga memiliki akses legal untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka," katanya.