Sabtu 29 Dec 2018 16:36 WIB

50 Tokoh Rumuskan Risalah Jakarta untuk Tangkal Ekstremisme

Agama menempati posisi dan peran kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Mahfud MD
Foto: Dok UII
Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 50 tokoh lintas agama merumuskan lima hal untuk mengantisipasi menguatnya sikap ekstremisme dan eksklusivisme beragama. Para tokoh ini meminta pemerintah memperhatikan lima masukan tersebut untuk kelangsungan hidup bernegara.

Lima hal tersebut disepakati dalam 'Risalah Jakarta'. Salah satu perumus risalah, Mahfud MD, mengatakan agama menempati posisi dan peran kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan bangsa yang multi agama, hal ini mengharuskan pelaksanaannya dalam kehidupan publik taat pada dasar negara dan konstitusi.

"Akhir-akhir ini, kehidupan beragama di Indonesia menghadapi tantangan serius berupa semakin menguatnya sikap eksklusivisme dan ekstremisme beragama. Fenomena ini menggejala di berbagai ruang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," ujar Mahfud di Hotel Discovery, Ancol, Jakarta Pusat, Sabtu (29/12).

Dia melanjutkan, dirinya dan puluhan tokoh merumuskan lima isu yang ditujukan sebagai saran untuk pemerintah. "Risalah ini penting untuk disampaikan kepada pemerintah dan masyarakat luas," lanjutnya. 

Isi risalah tersebut yakni, pertama, konservatisme sebagai karakter dasar agama, tidak bermasalah sejauh dipahami sebagai usaha merawat ajaran dan tradisi keagamaan. Tetapi, konservativisme dapat menjadi ancaman serius ketika berubah menjadi eksklusivisme dan ekstremisme agama, dan menjadi alat bagi kepentingan politik.

"Situasi ini menjauhkan peran utama agama yang bukan hanya panduan moral spiritual, bahkan menjadi sumber kreasi dan inspirasi kebudayaan," tutur Mahfud.

Kedua, konservatisme yang mengarah pada eksklusivisme dan ekstrimisme beragama seringkali dipicu faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan melainkan rasa tidak aman akibat ketidakadilan (politik maupun ekonomi), formalisme hukum, politisasi agama, dan cara berkebudayaan. Pertarungan pada ranah kebudayaan menjadi pertarungan strategis. Karena itu, agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.

Ketiga, era disrupsi membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Dampak dari era disrupsi telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok.

"Teknologi informasi dan komunikasi sebagai media disruptif menjadi pengubah permainan karena membawa budaya baru yang serba instan," ungkap Mahfud.

Keempat, eksklusivime dan ekstremisme beragama menjadi alasan beberapa kelompok untuk memperjuangkan ideologi agama sebagai ideologi negara. Formalisasi agama dalam kebijakan negara juga menguat di berbagai daerah, atau dalam kebijakan yang mengatur pelayanan publik dan kewargaan, bahkan menciptakan kegamangan atas hukum positif yang berlaku semisal dalam isu-isu terkait keluarga dan perempuan. Relasi kuasa politis yang di Indonesia muncul dalam paradigma mayoritas minoritas menjadi alasan untuk mempengaruhi kebijakan negara.

"Kelima, untuk mengatasi tantangan itu, kami merumuskan beberapa strategi," lanjut Mahfud.

Strategi pertama, Pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk memimpin gerakan penguatan keberagamaan yang moderat sebagai arus utama. Agama perlu dikembalikan kepada perannya sebagai panduan spiritualitas dan moral, bukan hanya pada aspek ritual dan formal, apalagi yang bersifat eksklusif baik pada ranah masyarakat maupun Negara.

Strategi kedua, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk menghapus atau membatasi regulasi dan kebijakan yang menumbuhsuburkan eksklusivisme dan ekstremisme beragama, dan perilaku diskriminatif dalam kehidupan beragama, antara lain mendorong pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) merevisi UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pemberlakuan PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama sesuai dengan Putusan MK.

Strategi Ketiga, mengembangkan strategi komunikasi berbangsa agar terhindar dari kegagapan menghadapi era disrupsi dan membangun gerakan kebudayaan untuk memperkuat akal sehat kolektif. Diperlukan langkah-langkah menerjemahkan materi atau muatan yang fundamental dari tokoh agama, budayawan dan akademisi, menjadi konten dan sajian yang lebih mudah dipahami generasi muda tanpa kehilangan bobot isinya.

Strategi Keempat, Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, perlu mengambil langkah-langkah aktif, untuk memfasilitasi ruang-ruang perjumpaan antarkelompok masyarakat, untuk memperkuat nilai-nilai insklusif dan toleransi, misalnya dalam bentuk dialog lintas-iman, khususnya di kalangan generasi muda.

Strategi kelima, tokoh-tokoh agama lebih aktif dalam memandu umat untuk menjalankan agama dan keyakinan yang terbuka, berlandaskan nilai-nilai hakiki agama sebagai panduan spiritual dan moral, bahkan sebagai sumber kreasi dan inspirasi kehidupan.

"Risalah Jakarta ini merupakan sumbangsih Forum Dialog Refleksi dan Proyeksi Kehidupan Beragama di Indonesia 2018 kepada masyarakat dan Negara Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati upaya luhur kita untuk memperkaya dan memperkuat peradaban bangsa ini," tambah Mahfud.

Adapun sejumlah perumus risalah itu yakni Mahfud MD, Asep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Garin Nugroho, Haidar Baqir, Hartati Murdaya, Henriette G Lebang, Jadul Maula, Komaruddin Hidayat, Suhadi Sanjaya, Sujiwo Tedjo, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Uung Sendana, Wahyu Muryadi, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Alisa Wahid, Coki Pardede, Zaztrow,  dan D Zawawi Imron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement