Kamis 27 Dec 2018 16:38 WIB

Penjelasan ESDM Soal Peningkatan Status Gunung Anak Krakatau

Status Gunung Anak Krakatau hari ini naik menjadi Level III Siaga.

Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018).
Foto: Antara/Weli Ayu Rejeki
Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian ESDM meningkatkan aktivitas Gunung Anak Krakatau dari Level II Waspada menjadi Level III Siaga terhitung mulai hari ini pukul 06.00 WIB. Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo menyampaikan bahwa peningkatan status ini didasarkan pada hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga 27 Desember 2018 pukul 05.00 WIB.

"Sehubungan dengan tingkat aktivitas Level III (Siaga) tersebut, masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 5 km dari kawah," kata Antonius atau akrab disapa Purbo pada konferensi pers di Jakarta, Kamis (27/12).

Purbo mengingatkan saat hujan abu turun, masyarakat diminta untuk mengenakan masker dan kacamata bila beraktivitas di luar rumah. Selain itu, masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung diminta untuk tetap tenang dan dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.

Sebelumnya, pada Rabu (26/12) dilaporkan terjadi hujan abu vulkanis di beberapa wilayah, yakni di Cilegon, Anyer, dan Serang. Tim Tanggap Darurat PVMBG telah melakukan cek lapangan, untuk mengkonfirmasikan kejadian tersebut dan melakukan sampling terhadap abu vulkanis yang jatuh.

Terkait potensi bencana erupsi Gunung Anak Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km merupakan kawasan rawan bencana. Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar, aliran lava dari pusat erupsi dan awan panas yang mengarah ke selatan. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.

Dalam pengamatan aktivitas, saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi efusif berupa aliran lava.

Pada 2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Sejak 29 Juni 2018, Gunung Anak Krakatau kembali mengeluarkan letusan hingga tanggal 22 Desember berupa letusan strombolian.

Pascakejadian tsunami pada 22 Desember lalu, aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap tinggi. Secara visual gunung api terlihat jelas hingga tertutup kabut.

Teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal tinggi sekitar 500 meter dari puncak dengan angin bertiup lemah hingga sedang ke arah utara dan barat daya. Kegempaan masih didominasi oleh tremor menerus dengan amplitudo mencapai 32 mm (dominan 25 mm).

Perkembangan 22-26 Desember 2018, teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal tinggi sekitar 200-1.500 meter dari puncak. Berdasarkan data Citra Sentinel tanggal 11 Desember 2018 dan 23 Desember 2018 terlihat bahwa sebagian lereng sektor Barat sampai Selatan terlihat telah mengalami longsor yang diperlihatkan dari perbandingan citra sebelum dan sesudah kejadian tsunami.

Pada 26 Desember 2018 letusan berupa awan panas dan surtseyan. Awan panas ini yang mengakibatkan adanya hujan abu termasuk yang terekam pada 26 Desember 2018 jam 17.15 WIB. Dari Pos Kalianda, jam 12 malam melaporkan suara gemuruh dengan intensitas tinggi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement