Kamis 27 Dec 2018 14:50 WIB

Waspada Bersama Para Penjaga

Pepohonan tumbang, puing berhamburan, dan bau anyir masih mengambang di udara.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Friska Yolanda
Perahu berada di puing permukiman akibat terseret tsunami di Sumur Pesisir, Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018).
Foto: Antara/Aurora Rinjani
Perahu berada di puing permukiman akibat terseret tsunami di Sumur Pesisir, Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Warga Kampung Cipanon Desa Tanjung Jaya Kecamatan Panimbang Kabupaten Pandeglang mulai kembali ke kediamannya pada Selasa (25/12) siang, setelah mengungsi di tempat-tempat dengan ketinggian yang cukup aman sejak tsunami Selat Sunda menerjang pada Sabtu (22/12). Beberapa warung makan terlihat mengepul oleh makanan hangat, membuat orang-orang yang melintas di Jalan Raya Tanjung Lesung tergoda dan menghampiri.

Seolah tak terjadi apa-apa di lokasi ini, gubuk dan saung yang ada di bibir pantai terlihat utuh dan kokoh meski hanya berjarak sekitar 100 meter dari laut. Meskipun begitu, mayoritas warga kampung Cipanon yang berprofesi sebagai nelayan ini belum bisa mengerjakan rutinitasnya. Beberapa kapal terlihat rusak, ada pula yang terbalik sebab dari terjangan tsunami beberapa waktu lalu, selain itu mereka kehilangan jaring, keramba dan peralatan lainnya untuk melaut.

Namun, saat Matahari mulai tenggelam, warga yang tadinya beraktivitas seperti biasa perlahan mulai menutup warung-warung tempatnya berniaga untuk kembali mengungsi. Markasim ketua RW di kampung tersebut mengatakan warga tetap diungsikan ke tempat yang lebih aman, meski pada tsunami sebelumnya kampung ini tidak tergerus ombak sama sekali.

"Warga tetap mengungsi sampai kondisinya aman, kalau saya mah tetap di sini, para pemuda juga berjaga di sini sampai besok," kata Markasim.

Langit semakin gelap, warung-warung terlihat tutup, menyisakan beberapa pemuda yang berjaga. Suasana yang kian senyap membuat gemuruh Anak Gunung Krakatau terdengar lebih jelas dan menakutkan, bersamaan dengan hujan deras yang hanya berhenti sesekali. Republika.co.id berteduh di saung warung makan milik Imas Masliah (45 tahun) yang sudah meninggalkan lokasi untuk mengungsi.

photo
Kondisi lokasi wisata Beach Club, Kampung Tanjung Lesung, Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Selasa (25/12)

"Nggak apa-apa di sini saja kalau mau istirahat, aman kok. Teteh besok subuh balik lagi ke sini," kata Imas sebelum meninggalkan lokasi.

Warung Imas berjarak sekitar 150 meter dari laut yang terus berdebur menghantam karang. Hujan yang mengguyur deras dan langit yang terlanjur gelap membuat Republika.co.id memilih bertahan di kampung Cipanon, lantaran tak ada penerangan di sepanjang jalan yang akan dilalui.

Sebelumnya, pukul 15.00 WIB Republika.co.id berada di Tanjung Lesung, tempat dimana ombak ganas menelan banyak korban di lokasi tersebut. Bahkan, di Beach Club Sport Center, lokasi wisata olahraga air, jejak-jejak tsunami masih terlihat dengan jelas. Pepohonan tumbang, kendaraan berserak, puing-puing berhamburan dan bau anyir yang mengambang di udara masih tersisa di lokasi itu.

Yanto (54), seorang penjaga yang selamat dari tsunami dan sempat mengevakuasi para korban mengatakan sebelum tsunami terjadi, lampu-lampu menunjukkan tanda yang tidak normal. Selain itu, alam tiba-tiba hening. Bahkan, kata dia, jangkrik yang biasanya tak berhenti berbunyi sepanjang malam tiba-tiba terdiam, senyap untuk beberapa saat.

"Tiba-tiba orang pada teriak ada tsunami, saya evakuasi keluarga dulu terus langsung turun ke Beach Club," tutur Yanto yang saat peristiwa tejadi, ia sedang berada di rumah untuk membersihkan diri.

photo
Bangunan rumah singgah yang hancur akibat terjangan gelombang tsunami Selat Sunda di Anyer Carita, Banten, Rabu (26/12/2018).

Sementara itu, di lokasi berbeda dengan jarak sekitar 2,6 kilometer, Imas dan warga lain di kampung Cipanon pun menyelamatkan diri ke bukit hingga pagi harinya. "Kita ngungsi di atas, ramai-ramai jongkok di kebun orang, neduh pake terpal atau karpet yang dibawa dari bawah, karena hujan sepanjang malam," kata dia.

Selang beberapa hari setelah bencana itu terjadi, Anak Gunung Krakatau masih dalam status waspada. Ketika malam tiba, Imas dan warga lain kembali mengungsi dan meninggalkan kampungnya. Sementara Republika.co.id menetap di saung milik Imas sepanjang malam.

Dari warung tempat itu, terlihat beberapa pemuda berjaga di bibir pantai yang berada di seberang jalan, bersenjatakan senter dan sarung yang melintang di leher untuk menghangatkan badan.

Sepanjang malam, Republika.co.id terus waspada, menjaga diri agar tidak tertidur mengingat kondisi masih belum aman. Bahkan, pada pukul 01.00 WIB listrik sempat padam untuk beberapa saat di lokasi itu. Mengingat apa yang dikatakan Yanto, bahwa lampu berkedip secara tidak normal sebelum tsunami terjadi, Republika.co.id berkemas memasukkan semua barang ke dalam ransel dan menggendongnya, bersiap menyelematkan diri jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Tubuh Republika.co.id gemetar karena ketakutan sambil terus mengamati sekitar, melihat pergerakan dari para pemuda yang berjaga dan saling berkomunikasi dengan isyarat menggunakan senter yang dibawanya.

Malam yang gelap disertai hujan dan angin kencang dilalui dengan penuh ketakutan, sementara gemuruh dari Anak Gunung Krakatau terdengar semakin jelas. Beruntung, tak terjadi apa-apa malam itu. Pagi hari tiba dan aktivitas warga sekitar kembali berjalan normal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement