Rabu 26 Dec 2018 15:49 WIB

DPR Lamban Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Penyintas kekerasan seksual meminta keadilan bagi korban.

Red: Nur Aini
Masyarakat dari berbagai aliansi melakukan aksi damai bertajuk stop kekerasan seksual di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (8/12/2018).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Masyarakat dari berbagai aliansi melakukan aksi damai bertajuk stop kekerasan seksual di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (8/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak diusulkan pada 2015 dan ditetapkan menjadi RUU (Rancangan Undang-Undang) inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2017, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dianggap masih jalan di tempat. Padahal, RUU ini dianggap penting untuk melindungi kaum perempuan dan anak, yang sering menjadi korban kekerasan seksual. Apa saja yang menjadi ganjalan di tengah jalan?.

Di sisi lain, 2018 akan segera berganti. Selama hampir dua tahun belakangan ini, RUU PKS sudah masuk dan dibahas di komisi VIII DPR RI. Jika melihat lebih ke belakang lagi, RUU PKS bahkan sudah diusulkan Komnas Perempuan RI sejak 2015. Namun hingga tahun baru 2019 menjelang, pembahasannya masih berada di tahap Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Beberapa pihak menduga, pembahasan RUU PKS yang jalan di tempat salah satunya disebabkan oleh masalah kesepahaman. Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, tidak ada basis yang sama di dalam melihat kekerasan seksual dan fakta kekerasan seksual.

"Pemahaman bahwa kita akan menciptakan Undang-Undang yang secara spesifik mengatur soal kekerasan seksual, dalam arti bagaimana membangun peradaban baru masyarakat dalam melihat kekerasan seksual, tidaklah sama," kata perempuan yang kerap disapa Nurher ini kepada ABC.

Selain itu, sebutnya, ada juga ketidaksepahaman soal perubahan di dalam sistem hukum.

"Nah, di dalam perubahan inilah yang kita tidak dalam posisi sama karena masih melihat bahwa menurut kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), aturannya seperti ini. Padahal kita ingin keluar dari kotak pemahaman si KUHP."

Sebagai salah satu pihak yang turut menelurkan RUU PKS, Nurher menilai masyarakat juga belum terlalu paham duduk perkara legislasi ini.

"KUHP itu mengatur norma kesusilaan di masyarakat, bukan kekerasan seksualnya, jadi dalam KUHP yang dilindungi adalah nilai kesusilaan di masyarakat sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini adalah untuk melindungi organ, fungsi, dan kesehatan reproduksi seseorang."

Masalah ketidaksepahaman tersebut juga dicermati oleh Wulan Danoekoesoemo, pendiri Lentera Sintas Indonesia, sebuah kelompok pendukung penyintas kekerasan seksual di Jakarta. Ia menuturkan, pemahaman anggota dewan soal kekerasan seksual memang belum nyata-nyata seragam. Namun, jika menilik pasal per pasal dari RUU PKS sendiri, ada celah yang seharusnya bisa diantisipasi sejak perancangan dilakukan.

"Bahwa sesungguhnya yang perlu dimasukkan di situ barangkali adalah Pemerintah bisa berkonsentrasi pada pendampingan korban kekerasan seksual di mana beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan tahapan pelaporan seperti visum et repertum, itu masih amat sangat sulit dijangkau," kata perempuan yang juga berprofesi sebagai dosen ini.

Wulan tak menampik, saat ini, sudah ada beberapa kebijakan yang melonggarkan aturan pelaporan.

"Misalnya, tidak harus dokter forensik yang melakukan visum. Akan tetapi pada kenyataannya tetap saja, akses kepada layanan kesehatan utama kan masih susah, apalagi kalau kita tinggal 5 jam dari kabupaten terpencil."

Ia juga tak heran jika masyarakat bahkan anggota dewan sekalipun masih merujuk atau membandingkan RUU PKS dengan ketentuan perkosaan di KUHP.

"Seringkali budaya victim blaming (menyalahkan korban) itu yang dijadikan patokan. Selalu mempertanyakan 'kenapa kamu bisa diperkosa? memangnya kamu waktu itu pakai baju apa? lagian kenapa sih pulang malam sendirian? Perempuan baik-baik kan seharusnya tidak seperti itu'. Dan berbagai perspektif yang seringkali menyudutkan perempuan sebagai korban."

"Ini tadi yang seringkali masih belum bisa disamakan standarnya di antara anggota dewan itu sendiri," ujar Wulan kepada ABC.

Pada akhirnya, kesusilaan seringkali dijadikan rujukan oleh penganut konsep patriarki, yang kemudian memposisikan korban, terutama perempuan, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus kekerasan seksual.

Di sisi lain, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota DPR RI Komisi VIII mengatakan, lambatnya pembahasan RUU PKS dikarenakan antrien legislasi yang masuk di DPR, seperti RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta RUU Praktik Pekerja Sosial (RUU Peksos). Kendala lain, kata Sara -begitu ia akrab disapa, adalah frekuensi anggota DPR dalam melakukan pembahasan anggaran yakni APBN dan APBNP (perubahan).

"Pembahasan anggaran negara ini menyita waktu cukup lama karena kami harus rapat tidak hanya dengan para menteri tapi tentunya dengan para sekjen, irjen dan/atau dirjen tiap kementerian dan badan untuk memastikan anggaran yang diajukan sesuai dengan kepentingan rakyat."

Sara membantah jika terganjalnya pengesahan RUU PKS tahun ini dikarenakan rujukan beberapa anggota dewan kepada KUHP yang menonjolkan sisi kesusilaan.

"Bukan saya rasa bukan itu. Itu lebih soal definisi dan juga makna pasal-pasal di dalamnya. Sepertinya ada yang belum mengerti betul makna dari setiap definisi yang tertuang di dalam RUU ini," sebutnya kepada ABC lewat pesan teks.

Harapan keadilan untuk korban

Rhesya Agustine (33 tahun) adalah penyintas kekerasan seksual yang sangat berharap agar RUU PKS segera disahkan. Ia mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya sejak usia 7 tahun dan berlanjut hingga ia duduk di bangku kelas 3 SMP.

"Saat itu saya mulai mengerti bahwa apa yang saya alami bukanlah bentuk kasih sayang. Saya pernah berusaha untuk menceritakan hal yang saya alami kepada Ibu saya dan meminta beliau untuk memilih dan karena merasa harus tetap memiliki suami, Ibu saya lebih memilih suaminya," kisahnya kepada ABC.

Rheysa terpaksa meninggalkan rumah di usia 19 tahun dan tidak pernah memperkarakan persoalan ini ke jalur hukum. Meski demikian, ia berpendapat payung hukum bagi korban kekerasan seksual sangatlah penting.

"Dengan kondisi masyarakat Indonesia yg patriarkis, di mana perempuan secara budaya dianggap sebagai warga kelas dua, pembicaraan mengenai seks dianggap tabu, pelecehan seksual dianggap aib, cenderung dibiarkan saat terjadi di level rumah tangga, payung hukum untuk masalah ini sangat diperlukan."

"Karena memungkinkan adanya aturan yg disepakati, sehingga memungkinkan adanya keadilan untuk korban."

Lebih dari itu, menurut Rhesya, masyarakat juga akan teredukasi dengan adanya perlindungan hukum dari RUU PKS.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-26/uncompleted_perempuan-korban-kekerasan-seksual-menanti-kepastia/10644880
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement