Rabu 26 Dec 2018 13:33 WIB

Korban Tsunami Khawatirkan Hari-Hari Mereka ke Depan

Warga terdampak tsunami tidak bisa pulang ke rumahnya yang hancur diterjang pasang.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah warga terdampak tsunami beraktivitas di posko pengungsian, SMAN 1 Rajabasa, Desa Kunjir, Lampung Selatan, Selasa (25/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga terdampak tsunami beraktivitas di posko pengungsian, SMAN 1 Rajabasa, Desa Kunjir, Lampung Selatan, Selasa (25/12).

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Hujan terus mengguyur sejumlah wilayah di Provinsi Banten sejak tsunami Selat Sunda terjadi, Sabtu (22/12). Pemandangan memilukan terlihat sepanjang perjalanan, mulai dari bangunan yang rata dengan tanah, kendaraan yang berserak, pepohonan tumbang atau kantung-kantung mayat yang diangkat bersama-sama menuju tempat evakuasi.

Republika.co.id tiba di lokasi bencana pada Ahad (23/12) sore hari, tepatnya di Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, titik pertama di mana dampak tsunami mulai terlihat jika perjalanan dimulai dari Jalan Raya Anyer-Sirih ke arah Pantai Carita. Rudi Heriyanto (35 tahun) salah satu korban yang berhasil selamat dari bencana tersebut sedang melihat-lihat sisa reruntuhan rumah makan tempat dia dan keluarganya tinggal dan membuka usaha.

Baca Juga

"Alhamdulillah semua selamat, cuma luka-luka karena ketiban reruntuhan atap dan keseret arus, tapi harta benda kita nggak ada yang tersisa," kata Rudi saat ditemui.

Rudi dan keluarganya telah mengungsi di tempat saudaranya yang berada di dataran yang lebih tinggi. Meskipun begitu, ia pun bingung akan seperti apa kehidupan yang dijalaninya di hari depan. "Kita berharap ada bantuan untuk mendirikan rumah-rumah kita, karena kita juga nggak tahu mau tinggal di mana setelah ini," tuturnya.

Apa yang dikatakan Rudi mewakili kekhawatiran seluruh korban bencana yang kediamannya tersapu oleh ombak. Hanya pakaian yang melekat di badan, harta yang tersisa dari mereka. Saat ini posko-posko pengungsian dapat melindungi mereka dari hujan dan angin meski tidak senyaman seperti di rumahnya. "Tapi bagaimana setelah ini, di mana kita akan tinggal, rumah saya hancur lebur," kata Enah (25 tahun), seorang ibu yang memiliki tiga orang anak.

Enah mengungsi di Posko Kesehatan milik marinir di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Rumahnya yang berada di Kampung Kelip, Desa Teluk, Kecamatan Labuan hancur disapu ombak. Suami Enah, Supardi (35 tahun), sudah melihat kondisi rumahnya, tak ada yang tersisa, jangankan selimut untuk menghangatkan tubuh di malam hari, pakaian ganti pun tak ia miliki.

"Anak saya belum ganti baju sejak kemarin, saya juga pakai celana punya saudara," kata Supardi.

Supardi berharap ada bantuan untuk membangun kembali rumahnya agar ia dan keluarganya memiliki tempat berteduh yang layak setelah bencana ini usai. "Walaupun nggak utuh seperti semula, setidaknya layak untuk dihuni," kata dia.

Republika.co.id berteduh dan beristirahat bersama-sama dengan para pengungsi selama berada di lokasi bencana. Layaknya para pengungsi, Republika.co.id kerap tidur dengan pakaian lembab lantaran hujan mengguyur seluruh persediaan pakaian saat dalam perjalanan.

Di pengungsian, setidaknya kami terlindung dari angin malam, meski dingin tetap menembus dari bawah karena hanya beralaskan karpet tipis. Kondisi itu jauh dari kata nyaman, namun rasa lelah yang lebih besar mendorong mata kami untuk terpejam dengan mudah.

Di pengungsian, para pengungsi hanya bisa mengandalkan makanan yang diberikan. Tidak ada bekal atau uang sepeser pun untuk membeli makanan sesuai selera yang diinginkan. Tentu ketergantungan seperti ini yang tidak mereka harapkan. Para korban ingin kembali beraktivitas, bekerja dan menikmati segala sesuatu dari hasil jerih payahnya sendiri.

"Saya pengen kembali ke laut, cari ikan. Tapi kapal saya juga hancur karena tsunami kemarin," kata Supardi yang berprofesi sebagai nelayan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement