REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan beberapa faktor penyebab masih banyaknya kepala daerah terjerat daalam pusaran korupsi. Diketahui, sejak berdiri sampai saat ini, KPK telah menjerat sekitar 105 kepala daerah.
"Ada sejumlah faktor seperti pengawasan yang lemah, biaya Pilkada yang tinggi, penghasilan kepala daerah yang rendah serta sistem penganggaran yang lebih banyak disalurkan ke daerah," kata Pahala saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Pahala mengatakan, terkait lemahnya pengawasan, KPK, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan RB) telah menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang menjadi landasan regulasi penguatan independensi Aparatur Internal Pengawas Pemerintah (APIP).
"Harmonisasi sudah selesai. Kalau kata Kemdagri (revisi PP nomor 18/2016) sudah di tangan presiden tinggal tanda tangan saja," ungkapnya
Nantinya, aturan tersebut akan memperkuat APIP terutama terkait independensi. Pengangkatan, pemberhentian, pelaporan, pertanggungjawaban, termasuk eselonisasi. Namun, aturan tersebut hanya mengatur soal penguatan independensi.
Pahala menambahkan, dalam surat yang disampaikan kepada Presiden, KPK juga merekomendasikan penguatan APIP melalui kecukupan jumlah baik sumber daya manusia maupun anggaran serta peningkatan kompetensi.
Karena, lanjut Pahala, APIP di daerah lebih banyak diisi oleh PNS yang tidak memiliki jabatan struktural karena terpangkas saat PP nomor 18 tahun 2016 terbit. Oleh karenanya, KPK meminta setiap daerah melakukan proses uji terhadap orang-orang tersebut untuk memastikan memiliki kualitas yang baik.
"Melalui Inpassing memang di beberapa daerah sudah bertambah jumlah APIP, tapi yang kita mau yang lebih muda, lulusan IPDN misalnya, nanti tahun 2019 kami akan bicara dengan STAN," kata dia.
Data dan fakta korupsi kepala daerah.