Senin 24 Dec 2018 21:34 WIB

BNPB: Pendidikan Kebencanaan tak Perlu Masuk ke Kurikulum

BNPB menilai pendidikan kebencanaan lebih layak masuk muatan lokal atau ekskul

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah warga melihat alat berat melakukan evakuasi bangunan yang terdampak tsunami di Desa Way Muli, Kalianda, Lampung Selatan, Senin (24/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga melihat alat berat melakukan evakuasi bangunan yang terdampak tsunami di Desa Way Muli, Kalianda, Lampung Selatan, Senin (24/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), B Wisnu Widjaja, mengatakan BNPB telah melakukan berbagai cara dalam mengurangi resiko bencana alam. Salah satunya, adalah dengan mengembangkan edukasi kebencanaan (disaster education).

Ia menjelaskan, BNPB memiliki program Sekolah Madrasah Aman Bencana yang sekarang berubah namanya menjadi Satuan Pendidikan Aman Bencana. Dari program itu, menurutnya, BNPB memastikan bangunan sekolah aman dari ancaman gempa bumi dan bencana lainnya.

Baca Juga

Selain itu, BNPB juga memasukkan program peningkatan kapasitas untuk pelatihan terkait manajemen bencana di dalam sekolah itu sendiri. Jika terjadi bencana, manajemen itu menentukan siapa yang akan memimpin evakuasi saat bencana terjadi. 

"Di sini, BNPB bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anak-anak juga dilatih cara evakuasi, dan pendidikan terkait kebencanaan," kata Wisnu saat dihubungi Republika.co.id, Senin (24/12).  

Namun demikian, ia menilai pendidikan kebencanaan itu tidak perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Di samping dinilai akan memberatkan siswa dengan banyaknya kurikulum, pelatihan terkait penanganan bencana menurutnya bisa dipraktikkan di rumah.

Pendidikan kebencanaan, kata dia, bisa dimasukkan ke dalam muatan pendidikan lokal atau ekstrakurikuler pramuka.  "Tidak perlu masuk ke kurikulum, dibuat fun saja, dimasukkan ke dalam muatan pendidikan atau pramuka. Nanti terlalu berat pekerjaan rumah (PR) mereka," ujarnya.

Wisnu menambahkan, sekitar 10 juta orang mengikuti pelatihan terkait kesiapsiagaan bencana pada 2017. Sementara pada 2018, sebanyak 30 juta orang, termasuk kalangan pelajar, mengikuti latihan tersebut. 

Selain pendidikan kebencanaan, Wisnu mengatakan bahwa BNPB juga membuat program Hari Kesiapsiagaan Bencana. Penetapan hari itu sudah memasuki tahun kedua tahun ini. Dengan adanya Hari Kesiapsiagaan Bencana, BNPB menetapkan satu hari untuk melakukan latihan sederhana terkait pengecekan insfrastruktur terkait penanganan bencana di seluruh Indonesia secara masif. 

Ia mengatakan, gagasan itu belajar dari pengalaman Jepang. Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa bencana alam di Kobi, Jepang, pada 1995 menunjukkan bahwa 35 persen masyarakat terdampak bencana bisa selamat karena mampu menyelamatkan diri.

Kemudian, 32 persen dari mereka selamat karena diselamatkan keluarga, dan 28.1 persen selamat karena diselamatkan oleh tetangga di sekitarnya. Artinya, Wisnu menjelaskan, untuk selamat dari bencana pada detik awal diperlukan kemampuan diri sendiri, keluarga dan komunitas. Sehingga, masyarakat terdampak bencana bisa saling membantu untuk selamat. 

"Karena itu dalam penanganan bencana, pahami resiko bencana, tata kelola, dan investasi (beli kebutuhan pelatihan). Pengatahuan saja tidak cukup, perlu dilatih untuk menumbuhkan naluri aman dan kemampuan untuk mengamankan diri," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement