REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, tsunami yang terjadi di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) disebabkan longsoran dari reruntuhan lereng Gunung Anak Krakatau. Hingga Senin (24/12) siang, tercatat korban meninggal mencapai 281 jiwa.
"Dari pantauan citra satelit, terjadi deformasi Gunung Anak Krakatau yang menunjukkan luas 64 hektare, terutama pada lereng barat daya," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Deformasi atau perubahan bentuk pada permukaan tubuh Gunung Anak Krakatau, yaitu runtuhan tersebut, menurut Dwikorita, disebabkan pengaruh getaran atau tremor dari aktivitas vulkanik. Kondisi tersebut juga diperparah dengan cuaca ekstrem yang terjadi berupa gelombang dan curah hujan tinggi dan telah dikeluarkan peringatan dini oleh BMKG sehari sebelumnya.
"Fenomena ini diperkuat dengan analisis model empat tide gauge yang memperlihatkan bahwa sumber energi tsunami itu berasal dari selatan Gunung Anak Krakatau," ujar Dwikorita.
Tsunami menerjang Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12) malam tanpa didahului gempa bumi. Sehingga, diduga terjadi akibat aktivitas vulkanis dari Gunung Anak Krakatau.
Data sementara yang berhasil dihimpun Posko BNPB hingga Senin (24/12) pukul 07.00 WIB, tercatat 281 orang meninggal dunia, 1.016 orang luka-luka, 57 orang hilang, dan 11.687 orang mengungsi. Kerusakan fisik meliputi 611 unit rumah rusak, 69 unit hotel-vila rusak, 60 warung-toko rusak, dan 420 perahu-kapal rusak.