REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Pasukan TNI Angkatan Laut (AL) mulai dikerahkan untuk membersihkan Pos Pengamat Pangkalan TNI AL Labuan di Kampung Nelayan I, Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Posko ini terletak persis di bibir pantai. Sekitar 30 personel TNI AL dikerahkan di posko yang dipenuhi puing berserakan itu.
Berdasarkan pantauan Republika.co.id, Senin pagi (24/12), beberapa warung yang terbuat dari kayu rusak. Beberapa patahan kayu dan sampah juga berserakan di sekitar posko.
Di sekitar lokasi, rumah warga juga penuh dengan lumpur. Beberapa warga juga terlihat memantau kondisi di sekitar lokasi.
Warga Kampung Nelayan I, Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Triyatin (39 tahun) mengatakan, kejadian tsunami pada Sabtu (22/12) terjadi tanpa peringatan. Bahkan, ia yang ketika itu berada di bibir pantai sama sekali tak merasakan adanya keanehan sebelum gelombang datang.
"Waktu di pantai tamu itu pada bilang ada ombak tinggi. Saat itu semua orang langsung lari," kata dia saat ditemui di lokasi.
Sebenarnya, warga dilarang mendekat ke arah pantai. Namun, beberapa warga memaksa masuk untuk melihat kondisi perahu dan rumahnya. Bahkan, beberapa warga nekat menerobos genangan air sisa hempasan gelombang dengan sepeda motor.
Triyatin mengatakan, saat kejadian, gelombang tiga kali datang. Menurut dia, ombak pertama adalah yang paling besar. Beruntung, tak satu pun warga di kampungnya yang menjadi korban jiwa.
Namun, kata dia, ada empat warga dari Kampung Kelip, kampung yang tepat berada di samping Kampung Nelayan I, meninggal dunia. Selain itu, mayoritas rumah di Kampung Kelip juga rata dengan tanah.
"Semua rata. Semua mengungsi. Saya pertama lari ke masjid, lalu ke gedung, lalu lari lagi ke perbukitan," kata dia.
Ia menegaskan, gelombang yang datang itu tak seperti air pasang seperti yang terjadi setiap bulan. Menurut dia, jika terjadi pasang, air hanya akan menggenangi halaman di depan rumah warga. Namun, pada Sabtu malam itu, air bahkan melebihi atap genting rumah warga.
Triyatin mengatakan, bahkan ada motor yang jatuh dari genting rumahnya. Tak hanya satu, melainkan tiga motor.
"Saat itu air nggak sempat surut, nggak ada tanda gempa. Tiba-tiba air tinggi pasang. Tambah dekat tambah tinggi," ujar dia.
Amirul Fattah (41) memiliki cerita berbeda. Lelaki yang juga tinggal di Kampung Nelayan I itu sedang berada di perairan Tanjung Lesung saat tsunami mengadang.
"Di laut tenang, tiba-tiba ada suara 'kresek-kresek'. Ternyata ombak besar," kata dia.
Ia mengatakan, gelombang besar terjadi sebanyak dua kali. Namun, gelombang kedua bercampur dengan lumpur.
Amirul yang saat itu bersama dua orang temannya menaiki sebuah perahu, tak sampai terbalik. Namun, dua orang temannya terhempas oleh gelombang besar itu.
"Teman saya satu saya tolong, satu lagi hilang belum ada kabar," kata dia.
Malam itu, Amirul tak hanya melaut dengan dua orang temannya, melainkan juga dengan perahu-perahu lainnya untuk menangkap cumi.
"Perahu yang lain ada yang kebalik, ada yang terbawa ke darat. Perahu saya tak apa-apa. Perahu di samping saya itu mental ke darat," kata dia.
Ia mengakui, gelombang pasang memang selalu datang setiap bulannya. Namun, banyak nelayan yang tetap melaut karena pada periode itu dipercaya akan banyak cumi yang tertangkap.
Namun, bukan cumi, melainkan gelombang tsunami ia dapat. Amirul mengunjungi Kampung Nelayan untuk melihat kondisi rumahnya pascatsunami.
"Saya mantau ke sini sambil bersih-bersih. Kita sampai tanggal 25 (Desember) disuruh tinggal di pengungsian," kata dia.