Senin 24 Dec 2018 05:00 WIB

PVMBG Masih Teliti Penyebab Tsunami di Selat Sunda

PVMBG belum bisa menyimpulkan apa penyebab pasti tsunami di Selat Sunda.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Bayu Hermawan
Kostrad mengirimkan prajuritnya membantu korban tsunami di Banten.
Foto: dok. Penkostrad
Kostrad mengirimkan prajuritnya membantu korban tsunami di Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Bencana tsunami menerjang beberapa wilayah pantai di Selat Sunda, di antaranya di pantai di Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api, Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Wawan Irawan, mengatakan sementara ini pihaknya tak bisa menyimpulkan dulu tsunami tersebut terjadi akibat krakatau atau bukan.

"Kalau dari sisi kegempaan jelas itu jelasa tsunami bukan karena letusan Krakatau. Tapi yang perlu kita cek itu apakah ada longsoran tubuh dari Krakataunya sendiri. Sehingga menyebabkan tsunami," ujar Wawan kepada wartawan, Ahad (23/12).

Menurut Wawan, kalau tsunami tersebut disebabkan oleh Gunung Krakatau, seharusnya kalau terjadi longsoran ada letusan yang besar sekali sehingga terjadi tsunami. Sejauh ini, memang pernah terjadi tsunami yang dipicu oleh Krakatau. "Itu ya pada saat letusan 1883. Salah satunya ada longsoran Krakataunya. Besarannya di atas 6 BE nya," katanya.

Wawan mengatakan, saat ini langkah yang mendesak adalah pihaknya akan mengecek ke lapangan apa betul karena letusan Krakatau, lalu akan dilihat apakah ada longsoroan dan akan memperbaiki alat-alat yang terganggu. "Kami pun akan berkoordinasi dengan BPBD dan pemerintah daerah karena mereka yang punya masyarakat," kata Wawan seraya mengatakan sekitar pukul 21.03 WIB saat kejadian peralatan terganggu kareba lontaran dari vulkanik.

Sedangkan berkaitan dengan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau, menurut Wawan, Gunungapi Anak Krakatau terletak di Selat Sunda adalah gunungapi strato tipe A dan merupakan gunungapi muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.

Wawan menjelaskan, aktivitas erupsi pasca pembentukan gunung ini dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunungapi masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929. Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar).

Saat ini, kata dia, Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi ekplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava. Pada 2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada tahun 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Kemudian, pada 2018 ini, kembali meletus sejak tanggal 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian.

Letusan pada tahun 2018, kata dia, precursor letusan 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan penigkatan jumlah gempa Hembusan dan Low Frekuensi pada tanggal 18 hingga 19 Juni 2018. Jumlah Gempa Hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Gunung Anak Krakatau meletus.

Lontaran material letusan, kata dia, sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah. Tetapi sejak tanggal 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Krakatau diperluas dari 1km menjadi 2 km dari kawah.

Wawan mengatakan, aktivitas terkini pada 22 Desember, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau terjadi letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 hingga 1500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm).

"Pada pukul  21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami. Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan, hal ini masih didalami," tegas Wawan.

Dikatakan Wawan, harus ada beberapa alasan kalau aktivitas Krakatau bisa menimbulkan tsunami. Pertama, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.

Kedua, kata dia, material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu. Ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.

Keempat, kata dia, untuk merontokan bagian tubuh yg longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar. Hal, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi. "Jadi, masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami," katanya.

Terkait potensi Bencana Erupsi Gunung Krakatau, menurut Wawan, berdasarjan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter ± 2 Km merupakan kawasan rawan bencana. Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 Km dari pusat erupsi.

"Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin," katanya.

Berdasarkan hasil pengamatan, kata dia, baik dari sisi analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II  (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Krakatau dalam radius 2 km dari Kawah.

"Kami berharap, masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami," kata Wawan seraya meminta masyarakat melakukan kegiatan seperti biasa dan mengikuti arahan BPBD setempat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement