Ahad 23 Dec 2018 11:31 WIB

BMKG: Tidak Ada Istilah Tsunami Susulan

Badan Geologi masih meneliti penyebab tsunami di Selat Sunda.

Damkar membersihkan Jalan Raya Anyer yang semalam berantakan tersapu tsunami, Ahad (23/12).
Foto: Republika/Indira Rezkisari
Damkar membersihkan Jalan Raya Anyer yang semalam berantakan tersapu tsunami, Ahad (23/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Gempa Bumi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Rahmat Triyono menegaskan tidak ada istilah susulan dalam tsunami. Istilah susulan hanya digunakan untuk gempa bumi.

Dalam keterangan tertulisnya, Ahad (23/12), Rahmat menjelaskan tsunami hanya terjadi jika ada gempa besar, longsoran atau kejadian lain seperti letusan gunung api di bawah laut yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air laut. Dan kalau kemudian ada tsunami lagi, artinya ada kejadian lain lagi yang memicunya.

Mengenai tsunami yang menerjang Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan pada Sabtu (22/12), ia mengatakan penyebabnya masih diteliti oleh Badan Geologi.

Siaran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di laman resminya menyebutkan pusat vulkanologi merekam adanya gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale 58 milimeter dan letusan Gunung Anak Krakatau pada Sabtu (22/12) pukul 21.03 WIB. Namun, ia masih mendalami kaitannya dengan tsunami yang terjadi di Selat Sunda.

Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 teramati mengalami letusan dengan tinggi asap berkisar antara 300 sampai dengan 1.500 meter di atas puncak kawah. Menurut PVMBG, getaran tremor tertinggi yang terekam terjadi sejak bulan Juni tidak menimbulkan gelombang air laut bahkan hingga tsunami. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.

Untuk menimbulkan tsunami sebesar yang terjadi di sekitar Selat Sunda pada Sabtu, menurut pusat vulknaologi, perlu ada runtuhan yang cukup besar yang masuk ke dalam kolom air laut. Untuk merontokkan bagian yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, dan ini tidak terdeteksi oleh seismograf di pos pengamatan gunungapi.

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter lebih kurang dua kilometer merupakan kawasan rawan bencana. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual dan instrumental hingga 23 Desember, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Pada level ini, warga tidak diperbolehkan mendekati radius dua kilometer dari kawah gunung.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement