Sabtu 22 Dec 2018 03:19 WIB

Berbekal Kepedulian, Tahir Dirikan PAUD Pakai Uang Sendiri

Banyak anak-anak nelayan yang tak mengenyam pendidikan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Esthi Maharani
Siswa-Siswi PAUD Mutiara Bambu di Cilincing, Jakarta Timur.
Foto: Dok Pribadi
Siswa-Siswi PAUD Mutiara Bambu di Cilincing, Jakarta Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mohamad Tahir, nelayan asal Bone, Sulawesi Selatan mendirikan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Mutiara Bambu dengan uang sendiri. Niat Tahir bukan untuk cari ketenaran, ia hanya prihatin ketika melihat banyak anak-anak rekan seprofesinya yang tak mengenyam pendidikan.

Anak-anak nelayan, pemulung, sopir-sopir, hingga buruh kasar ditampung di PAUD Mutiara Bambu ini. "Saya gemas melihat anak-anak kecil ini. Sehari-hari hanya menguliti kerang hijau dari pagi sampai malam," kata Tahir dalam keterangan resminya kepada Republika.co.id, Jumat (21/12) malam.

Meski dalam kondisi keuangan yang serba terbatas, Tahir bersikukuh untuk membuat sekolah tersebut. Seluruh kebutuhan kegiatan belajar mengajar murni dipenuhi dari swadaya anggota keluarga Tahir.

Lelaki yang sudah melaut selama 45 tahun itu mengatakan, PAUD Mutiara Bambu ia dirikan pada tahun 2006 silam di kawasan Kota Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Tepatnya, di sebuah tanah empang bekas gusuran air laut.

photo
Mohamad Tahir, Pendiri PAUD mutiara Bambu di Cilincing, Jakarta Timur. Ia mendirikan dan mengelola sekolah tersebut dengan uang sendiri. (Dok. Pribadi)

Sekolah tersebut sejatinya hanya memiliki satu ruangan kecil berukuran 8x9 meter. Dinding ruangan ditopang oleh batang-batang bambu yang saling mengikat agar mampu berdiri meneduhkan para murid.

Kendati hanya satu ruangan, Tahir mengatakan PAUD Mutiara Bambu kini memiliki murid sebanyak 138 siswa. Mereka belajar secara bergiliran selama hari dalam seminggu.

Saat ini, sekolah tersebut memiliki empat orang guru. Mereka hanyalah tamatan SMEA bahkan ada yang lulusan SMP. Namun, mereka mendedikasikan penuh seluruh pengetahuan yang dimiliki untuk ditularkan kepada para murid tanpa digaji. Sementara adik Tahir yang bernama Megawati, ia jadikan sebagai kepala sekolah yang juga tak bergaji.

Sementara itu, Tahir mengatakan adanya reklamasi dan buangan limbah yang makin ganas membuat banyak ikan mati. Akibatnya, hasil tangkapan ikan Tahir makin lama makin minim. "Biasanya sehari bisa dapat Rp 200 ribu, sekarang Rp 20 ribu saha sudah bagus," tuturnya.

Tahir mengatakan, melihat situasi yang serba sulit, maka ia masih membutuhkan bantuan dari masyarakat yang peduli agar sekolah yang ia dirikan dapat terus bertahan. "Buku-buku bacaan sangat diperlukan, uang apalagi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement