REPUBLIKA.CO.ID Ormas-ormas Islam di Indonesia mulai menyoroti kabar soal pelanggaran HAM terhadap komunitas Muslim Uighur dan Kazakh di Xinjiang, Republik Rakyat Cina (RRC). Mereka meminta negara itu menjamin hak-hak beragama umat Islam yang diberitakan berbagai lembaga HAM kian dibatasi belakangan.
“Pemerintah Cina harus menghormati hak asasi manusia universal sebagaimana dijamin PBB dan menjadi komitmen dunia pada abad modern ini. Muslim di Uighur perlu dijamin haknya menjalankan agama sebagaimana pemeluk agama lain,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat dihubungi, Rabu (19/12).
Haedar menilai, RRC tak semestinya menebar ketakutan kepada penduduk setempat yang kebetulan bukan etnis minoritas di Cina. “Kalau terdapat unsur-unsur radikal atau separatisme, sebagaimana diisukan, perlu pendekatan politik yang elegan dan tidak dengan kekerasan,” ujar dia.
Haedar juga menyerukan Pemerintah Indonesia agar bersikap tegas dalam menanggapi kasus ini. Jangan sampai ada kesan Pemerintah Indonesia tutup mata terhadap penderitaan yang dialami etnis Uighur dan Kazakhs di Cina.
“Pemerintah Indonesia dapat memainkan peran politik luar negeri yang bebas aktif secara elegan dan mampu menyerap aspirasi umat Islam Indonesia dan masyarakat dunia atas perlindungan nasib Muslim Uighur,” kata Haedar.
Beijing diberitakan mengoperasikan barak-barak reedukasi untuk etnis Uighur dan Kazakhs di Xinjiang sejak 2016. Laporan Dewan HAM PBB menyebutkan, Partai Komunis Cina juga telah melarang etnis tersebut menggunakan bahasa etnis daerah setempat.
Larangan bahkan mencakup persoalan menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam. Selain itu, merujuk laporan media-media internasional, mereka juga dipekerjakan paksa.
Xinjiang terletak di bagian barat Cina dan dihuni sekitar 10,5 juga Muslim dari etnis Uighur dan Kazakh. Sejak lama, isu separatisme menguat di sana dan direspons Beijing dengan kebijakan tangan besi. Dalam dua tahun belakangan, ratusan ribu Muslimin ditahan dan dimasukkan ke dalam barak-barak reedukasi.
Beberapa tahanan yang berhasil lolos, seperti Mihrigul Tursun (29 tahun), menuturkan, para tahanan mengalami penyiksaan. “Setiap saat saya disetrum, seluruh tubuh saya bergetar hebat dan saya bisa merasakan sakitnya hingga ke pembuluh darah,” kata dia saat bersaksi di Washington, akhir November lalu.
Dewan HAM PBB memperkirakan, sekitar sejuta warga Uighur dan Kazakh ditahan dalam barak-barak tersebut. Sementara, Kementerian Luar Negeri AS memperkirakan sebanyak dua juta warga ditahan.
Ketua Bidang Luar Negeri Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud meminta Kementerian Luar Negeri RI mencari informasi yang sebenarnya soal yang terjadi di Xinjiang. Setelah itu, informasinya jelas, baru Indonesia bisa mengambil sikap.
Bagaimanapun, Marsudi menegaskan, PBNU mengecam atas segala bentuk diskriminasi dan penindasan. Karena itu, dia mengingatkan Pemerintah Cina tidak melakukan perampasan terhadap hak-hak beragama seseorang.
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menyampaikan, masalah di Xinjiang adalah masalah dalam negeri Cina. Namun, bukan berarti Pemerintah Cina bisa bebas berbuat semena-mena dan menginjak hak asasi masyarakat Uighur.
Sesuai konstitusi pada pembukaan UUD 1945, Anwar juga mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh tinggal diam. "Kita jangan takut untuk melakukan itu karena hal tersebut merupakan jati diri dan tugas suci kita sebagai bangsa," tuturnya.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan sikap soal dugaan penahanan dan pembatasan beragama di Xinjiang yang sudah disoroti Dewan HAM PBB dan berbagai negara barat itu. Indonesia tak ikut serta saat belasan negara menyoroti persoalan tersebut dalam sidang evaluasi tahunan Dewan HAM PBB di Jenewa, November lalu.
Sementara itu, Pemerintah Cina mengatakan, barak-barak di Xinjiang adalah barak pendidikan kejuruan untuk memberantas radikalisme. Konsul Jenderal RRC di Surabaya Gu Jingqi pekan lalu mengatakan, negaranya sangat menjunjung kebebasan beragama, termasuk Muslim.
“Tapi, kalau ada sebagian kecil yang ekstrem dan berupaya memisahkan diri, tentunya ya kami tindak. Indonesia juga tentunya bertindak serupa," kata dia.
(ali mansur/antara ed: fitriyan zamzami)