Kamis 20 Dec 2018 08:52 WIB

Ormas Islam, Muslim Uighur, dan Respons Beijing

Pemerintah Cina membantah tudingan telah bertindak intoleran terhadap etnis Uighur.

Etnis minoritas Muslim Uighur menuduh Pemerintah China mengekang mereka.
Foto: ABC News/Lily Mayers
Etnis minoritas Muslim Uighur menuduh Pemerintah China mengekang mereka.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Amri Amrullah, Fuji E Permana

Desakan berbagai ormas Islam agar pemerintah bersikap tegas terhadap Republik Rakyat Cina (RRC) terus mengalir. Mereka meminta pemerintah lebih bersikap proaktif dalam membela kepentingan umat Islam yang sedang dizalimi di Xinjiang.

Baca Juga

Ketua Umum PP Syarikat Islam Hamdan Zoelva menyebut perlakuan diskriminatif Pemerintah Cina terhadap warga Muslim etnis Uighur di Xinjiang menyakiti umat Islam Indonesia dan dunia.

"Tindakan penahanan dan penyiksaan terhadap warga Muslim Uighur tanpa proses hukum yang berkeadilan oleh Pemerintah Beijing merupakan tindakan sewenang-wenang yang melanggar hak-hak asasi manusia," kata Hamdan Zoelva, Rabu (19/12).

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai tindakan kekerasan Pemerintah Cina ke Muslim Uighur tetap tidak bisa dibenarkan sekalipun dilakukan atas dasar kehendak melakukan pencegahan dari kemungkinan terjadinya tindakan terorisme.

Hamdan mengatakan, Syarikat Islam berharap Pemerintah Indonesia yang telah memiliki jalinan persahabatan Pemerintah Cina mampu melakukan pendekatan persuasif. Memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan bagi kehidupan Muslim Uighur yang lebih baik di Negeri Tirai Bambu ini.

Ketua Umum Pengurus Besar Al Jamiyatul Washliyah, KH Yusnar Yusuf menyarankan agar Pemerintah Cina memberikan klarifikasi terkait berita Muslim Uighur yang beredar di media sosial.

"Pemerintah Indonesia sebaiknya meminta klarifikasi dari Pemerintah Cina yang ada di Indonesia melalui kedutaannya, (Dubes Cina sebaiknya) diundang oleh Kementerian Luar Negeri," kata KH Yusnar, Rabu (19/12). Dengan begitu, pemerintah bisa mencari jalan keluarnya.

Ketua Umum DDII, KH Mohammad Siddik mengatakan, Indonesia bisa menasihati Cina sebagai negara yang bersahabat. "Muslim Uighur, betul masalah dalam Negeri Cina, tapi kita sebagai sahabat Cina bisa menganjurkan dan meminta supaya memperlakukan umat Islam secara baik," kata KH Siddik.

Ia mengatakan, DDII khawatir perlakuan Cina terhadap Muslim Uighur akan memunculkan sikap radikal di tempat-tempat lain. Padahal, akan menguntungkan bagi Cina jika bersikap mengayomi dan menyayangi minoritas Muslim di negara itu.

“Ini sungguh tidak bisa dibenarkan oleh hak asasi manusia dan hukum apa pun,” kata Ketua Dewan Syuro al-Irsyad al-Islamiyyah, KH Abdullah Djaidi, Rabu (19/12).

Abdullah berharap jangan sampai ada anggapan bahwa RI menutup mata terhadap ketidakadilan yang sedang terjadi di sana. “Sebab, Indonesia adalah negara Muslim terbesar, dan Cina punya kepentingan besar pula secara ekonomi di Indonesia,” kata Abdullah.

Abdullah juga meminta umat Islam di Tanah Air dan dunia bahu-membahu untuk mendukung kaum Uighur dan Kazakhs di Xinjiang. “Kalau umat Islam kompak memboikot produk-produk Cina, akan menjadi alat penekan yang efektif terhadap Pemerintah Cina agar menghentikan penindasannya terhadap Muslim di Xinjiang,” kata Abdullah.

Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) mendesak Pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah diplomatik untuk membebaskan Muslim Uighur dari kamp-kamp reedukasi. "Indonesia tidak boleh berpaling dari Muslim Uighur," ujar Ketua Umum BSMI Djazuli Ambari di Jakarta, Rabu (19/12).

Djazuli yakin suara Pemerintah Indonesia akan didengar oleh Cina karena memiliki hubungan diplomatik yang baik. Aksi Indonesia untuk dunia tidak boleh hanya berhenti pada pembelaan terhadap saudara-saudara dari Palestina ataupun etnik Rohingya di Myanmar. BSMI, menurut Djazuli, sedang berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk bisa masuk dan memberikan bantuan ke Muslim Uighur.

Aksi Cepat Tanggap (ACT) juga berencana mengirim bantuan kemanusiaan ke Uighur. “Insya Allah, kita akan memberangkatkan tim dalam beberapa fase. Selain di Xinjiang, banyak diaspora Uighur tersebar di berbagai negara, seperti Turki dan Kirgistan. Dalam minggu ini, kami akan memberangkatkan Tim Sympathy of Solidarity (SOS) untuk Uighur I,” kata Senior Vice President ACT Syuhelmaidi Syukur, seperti dikutip ACT News.

Bantuan itu khususnya bagi anak-anak yatim Uighur. Bantuan tersebut akan diberikan dalam bentuk bantuan pendidikan, modal usaha, dan kebutuhan musim dingin.

Beijing telah dituduh 'menghilangkan' anggota-anggota populasi Muslimnya - beberapa laporan mengatakan sebanyak satu juta - untuk "dididik kembali" agar mereka menjauh dari keyakinan mereka. Hal ini dilihat sebagai respon terhadap kerusuhan dan serangan kekerasan yang dituduhkan pemerintah pada separatis.

Etnis Uighur dan Kazakh di Cina telah mengatakan kepada the Associated Press bahwa tindakan yang dilakukan tidak berbahaya, seperti berdoa secara teratur, melihat situs web asing atau mengambil panggilan telepon dari kerabat di luar negeri.

Pemerintah Cina menolak tudingan masyarakat internasional bahwa rezimnya telah melanggar HAM terhadap etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Otoritas Cina beralasan tindakan tegas tersebut dilakukan untuk mencegah terjadi penyebaran ideologi radikal di kalangan masyarakat Uighur.

Konsul Jenderal Cina di Surabaya Gu Jingqi mengatakan persoalan yang dialami suku Uighur merupakan masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat.

"Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRC.  Itu yang kami, Pemerintah Cina, atasi," kata Jingqi kepada Antara di Surabaya, Jumat (13/12).

Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di Cina. Jingqi beranggapan tindakan yang dilakukan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di Cina.

Warga Muslim di Cina sebanyak 23 juta jiwa, namun pemerintah memperlakukan warga dengan sama. "Meskipun minoritas, mereka tidak dibatasi dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka," jelas Jingqi.

Kementerian Luar Negeri RI telah mendiskusikan isu dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina, dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian.

Dalam pertemuan yang diadakan pada 17 Desember lalu, perwakilan Kemlu menyampaikan keprihatinan berbagai kalangan di Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur.

"Kemlu menegaskan sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Merupakan tanggung jawab tiap negara untuk menghormatinya," kata Juru Bicara Kemlu Arrmanatha Nasir di Bandung, Rabu (20/12) malam.

Dalam kesempatan tersebut, Dubes Cina menyampaikan komitmen negaranya terhadap perlindungan HAM. Dubes Cina juga sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.

"Walaupun merupakan isu dalam negeri Cina, Kemlu mencatat keinginan Kedubes Cina di Jakarta untuk terus memperluas komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat madani untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur di Cina," ujar Arrmanatha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement