Senin 17 Dec 2018 09:31 WIB

Sukarno, Tokoh Islam, Aidit: Kisah Geger Poligami

Tokoh Islam tidak pernah ikut melarang poligami, meski mereka tak melakukannya.

Sukarno membonceng Fatmawati.
Foto: wikipedia
Sukarno membonceng Fatmawati.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Geger poligami kini membuncanh di ruang publik. Kontroversinya jelas meski memang sudah menjadi barang basi. Sekarang ada calon politisi yang sibuk berkampanye antipoligimasi. Alasannya, juga klasik. Di layar televsi ada seseorang dengan lantang menyatakan poligami melanggar hak asasi manusia karena seperti membuang tong sampah kaum perempuan.

Perdebatan seperti ini pun sebenarnya sudah sangat lama di Indonesia. Dalam penyusunan UU No 1 tahun 1974 pun sudah muncul. Kala itu muncul kehebohan. Para anggota fraksi oposisi pemerintah dari kalangan Islam menyatakan ‘walk out’. Pembahasan RUU Perkawinan kala itu deadlock. Soal ini baru menemui soluasi ketika Ibu Tien Soeharto turun tangan. Akhirnya, dicari jalan tengah: Poligami tidak dilarang dan tidak pula dianjurkan. Kalangan Islam kala itu sama dengan sekarang menghukumi poligami dengan  ‘mibah’. Mereka menyatakan tak bisa hal yang nyata-nyata boleh di dalam kitab suci kemudian diharamkan atau tidak dibolehkan!

Dan tahun pun terus berganti. Sebelum sekarang poligami menjadi isu politik menjelang Pemilu 2019, sebelumnya pun sudah ramai. Ini misalnya semenjak seorang pesohor diketahui menikah lagi alias berpoligami. Jagat dunia maya bergonjang-ganjing. Poligami dipergunjingkan. Beberapa tahun yang lalu,  ketika KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) diketahui menikah lagi, jagat sosial heboh.  Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut cawe-cawe dengan memanggil pejabat Kementerian Agama ke Istana Negara.

Dalam pergunjingan itu, amat terasa pembentukan opini mengenai poligami yang dianggap salah. Soal ini pun sudah sangat lama di bahas dalam debat agama Islam di Amerika Serikat puluhan tahun silam. Kala itu seorang pendakwah legendaris asal Arifaka Selatan kelihiran India, Ahmad Deedat menjawab lugas soal tuduhan pejoratif soal poligami. Dia mencontohkan soal kasus riil di Amerika di mana jumlah perempuan ternyata jauh lebih banyak dari perempuan. Ahmad Deedat pun bertanya: lalu apa solusinya terhadap para perempuan yang tak ptak bisa menikah itu. Apakah menjajakan diri kepada kaum lelaki yang sudah beristri atau menjadi homoseksual (lesbian)?

Dan terkait polemik soal poligami ini,  tentu menarik untuk menyimak dengan saksama pandangan para tokoh Islam di masa lalu. Mereka mengatakan dia tak ikut melarang poligami, tapi tak melakukannya. Pernyataan ini menarik dinyatakan para tokoh Sarekat Islam hingga Partai Masyumi, atau Persyarikatan Muhammadiyah. Mereka hidup dengan satu isteri dan setia selamanya. Lihat saja pada kisah hidup HOS Tjokro Aminoto, KH Ahmad Dahlan, Moh Hatta, KH Hasyim Asy’ari. KH Wahid Hasyim, H Agus Salim, Moh Natsir, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka, AR Fachruddin, dan berbagai tokoh Islam lainnya di negeri tercinta ini.

Semua sikap mereka itu bersikap lapang dada terhadap poligami di satu sisi dan tidak melakukannya pada sisi lain berbeda dengan sikap tokoh bangsa yang lain. Contoh yang paling nyata ada pada sosok proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir  Sukarno. Dia terang-terangan mengakui melaksanakan poligami. Dan sahabatnya pun menganggapnya tak menjadi masalah. Dan yang menganggap masalah justru tokoh di luar Islam. Ini misalnya Ketua Umum PKI DNI Aidit yang secara terang-terangan mengolok Sukarno di depan rapat umum dua malam  sebelum meletusnya G30S PKI.

Kisahnya begini: Kala itu depan ribuan anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) Aidit berpidato dengan menyakinkan di depan mimbar. Yang mengagetkan adalah dia berpidato dengan menyindir situasi Indonesia yang kala itu salah urus. Terjadi hiperinflaso dan berbagai soal ekonomi lainnya. Tanpa basa basi dia mengatakan biang ‘salah urus negara ini’ adalah pada praktik poligami dari para pejabat di Indonesia. Entah sadar atau tidak pidato itu diucapkan di depan Presiden Sukarno yang hadir pada rapat tersebut.

"Indonesia belum mencapai kemajuan dan kemakmuran. Negara ini memang tidak akan bisa maju kalau diurus oleh pemimpin yang mempunyai empat atau malahan lima orang istri!" teriak Aidit dalam orasi tersebut.

Tentu saja pada pejabat dan sejumlah hadirin yang hadir kala itu kaget seperti disambar gledek. Mereka semua terkesiap. Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan, yang saat itu mengawal Bung Karno hanya bisa geleng-gelengkan kepala mendengar pidato Aidit. Beberapa puluh tahun kemudian, pada sebuah situs media  dia mengatakan apa yang dikatakan Aidit sama sekali tak sopan.
"Kasar sekali, pernyataan Aidit itu kasar sekali," kata Saelan ketika menceritakan isi pidato Aidit pada tanggal 28 September 1965.

Saat itu, semua orang Indonesia tahu bahwa Presiden Sukarno melakukan poligami. Tak hanya punya dua orang isteri, Sukarno punya lebih dari itu. Bahkan saat itu dia punya lima isteri Fatmawati, Hartini, Ratna Dewi, Haryati, dan Yurike.

Saelan pun menceritakan suasana rapat menjadi tak enak.

Mendengar pidato Aidit, memang semua hadirin  tak ada yang berani melihat ke arah wajah Soekarno. Namun Soekarno cepat menguasai diri. Dia dengan tenang meninggalkan acara tersebut tanpa berkata apapun. Uniknya lagi, beberapa bulan silam, yakni pada 23 Mei 1965 di Istora Senayan,  Aidit dan Sukarno berangkulan dan saling melambiaan tangan ke publik. Aidit kala itu mendapat penghargaan yang luar biasa sebagai penerma Buntang Mahaputra.

Bukan hanya itu, sebelum Aidit berpidato, organisasi sayap perempuan PKI ‘Gerawani’ juga tak pernah berani mengkritik Sukarno terkait poligami. Mereka yang biasanya galak kepada pihak yang berpoligami, tak berkutik ketika berhadapan dengan Sukarno. Padahal kala itu juga banyak pihak dari organisasi perempuan mengkritik sang presiden terutama ketika Fatmwati memutuskan ke luar dari Istana Negara karena tak mau dimadu. Gerwani melunak, berbeda dengan Aidit yang tiba-tiba berkata keras menyindir praktik poligami Sukarno.

Seorang mantan pengurus Gerwani Jawa Timur, Lestari, mengenang saat itu memang tidak ada kebijakan PKI atau Gerwani untuk mengkritisi poligami Soekarno.  "Tidak ada-ada. Dikembalikan masing-masing saja. Hanya memang kenapa wanita mau dipoligami. Kan yang rugi wanita," kata Lestari seperti dikutip dari situs merdeka.com.



Mengapa Bung Karno?

Dalam tulisannya di Republika.co.id, beberapa waktu lalu pemerhai sejarah Lukman Hakiem, mengisahkan mengapa Soekarno menjadi contoh yang tepat untuk memberi gambaran mengenai salahsatu perilaku poligami di Indonesia. Bung Karno tidak hanya dikenal sebagai sebagai tokoh golongan kebangsaan yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Bung Karno dikenal juga sebagai tokoh yang akrab dengan Islam dan tokoh-tokoh Islam.

Bung Karno pun menimba pengetahuan Islam dari tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati,  dan Ahmad Hassan. Kumpulan surat-suratnya kepada pemimpin Persatuan Islam (Persis) A. Hassan, "Surat-surat Islam dari Endeh", sampai sekarang tetap menarik dibaca.

Dan sebagai pembelajar Islam yang tekun, Bung Karno dikenal dengan seruan lantangnya kepada umat Islam agar "memudakan pengertian Islam." Bung Karno juga mendesak kaum Muslimin agar mengambil "apinya Islam." Bukan debunya Islam! Salah satu diantaranya adalag soal polemik Sukarno dengan Mohammad Natsir mengenai persatuan agama dengan negara, hingga kini tetap merupakan bahan bacaan dan pengetahuan yang menarik.

Lebih dari segalanya, Bung Karno bukanlah seorang yang hanya berkata-kata. Dia berkata-kata sekaligus mencontohkan bagaimana melaksanakan kata-kata itu.

Nah, mengenai kisah awal poligami Bung Karno sewaktu dia menjalani masa pengasingan di Bengkulu. Bung Karno yang sejak mahasiswa di Bandung menikah dengan Inggit Ganarsih pada 1923, saat itu berkenalan dengan seorang gadis kelahiran Curup yang berselisih usia 20 tahunan dengannya. Gadis itu bernama Fatmawati. Gadis itu adalah salah seorang murid Bung Karno di Sekolah Rendah Muhammadiyah.

Pada suatu hari,  sambil menyusuri pantai yang berpasir putih,  Fatmawati bertanya kepada Bung Karno: "Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai istri lebih dari satu?"

Bung Karno menjawab dengan merujuk kepada sejarah awal perkembangan Islam seraya menambahkan: "Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan di antara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahyu dari Tuhan yang mengizinkan laki-laki mempunyai istri sampai empat orang agar tercapai suasana yang tenang. Tetapi di Bali orang menjalankan poligami yang tidak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini istrinya yang ke-36. Umurnya 16."

"Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan?" tanya Fatmawati.

Dengan tangkas Bung Karno menjawab: "Sebaliknya, ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan ssperti dalam neraka. Orang tua menguburkan anak-anak gadis hidup-hidup oleh karena dianggap sebagai beban. Laki-laki hanya menyerahkan mas kawin kepada si bapak dan membeli anak gadisnya untuk dijadikan istri. Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang menjadi teman hidup yang sama kedudukannya dalam perkawinan."

Fatmawati yang menurut Bung Karno cerdas itu, bertanya lagi: "Perlukah seorang Islam mendapat persetujuan dari istri pertama sebelum mengawini istri yang kedua?"

Bung Karno menjawab lugas: "Tidak wajib. Hal ini tidak disebut-sebut dalam Al-Quran dan Hadits. Ini kemudian ditambahkan dalam fiqh."

Sebenarnya, Inggit pun saat itu, yakni sejak masih di Bengkulu, sudah mencium hubungan khusus Bung Karno dengan Fatmawati. Rumah tangga Sukarno-Inggit menjadi sering diwarnai dengan pertengkaran.

Bung Karno sendiri telah berterus terang kepada Inggit mengenai keinginannya untuk mempunyai anak yang tidak mungkin diperolehnya dari Inggit. Kepada perempuan yang telah menemaninya dalam derita perjuangan, Bung Karno menyampaikan tekadnya untuk tidak akan menceraikan Inggit dan akan menempatkan perempuan tegar itu dalam kedudukan yang terhormat.

Dalam ikhtiarnya untuk mempunyai keturunan seraya tidak ingin menceraikan Inggit, Bung Karno pernah menawarkan jalan tengah, yaitu biarlah Inggit yang mencarikan istri kedua untuk Bung Karno. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Inggit.Oleh karena tidak ada titik temu,  pada permulaan tahun 1940-an,  Sukarno dan Inggit bercerai.

Kepada Inggit, Bung Karno meminta pengertian. "Di antara kita semakin sering terjadi pertengkaran, dan ini tentu tidak baik untukmu," kata Bung Karno. Sesudah itu Bung Karno mengantar Inggit ke Bandung, dan mengucapkan selamat tinggal.

Uniknya,perceraian Sukarno dengan Inggit juga melibatkan Empat Sekawan, kwartet pemimpin nasional di zaman Jepang: Sukarno, Mohammad Hatta, K. H. Mas Mansoer,  dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka meminta jaminan agar nasib Inggit tak terlantar setelah berceria. Dan sesudah bercerai dengan Inggit, pada bulan Juni 1943, Sukarno menikahi Fatmawati.

Kisah tersebut ditulis dalam sebah novel biografi Inggit Garnasih dengan sangat indah oleh mendiang Ramadhan KH: Ku Antar Kau Ke Gerbang. Dalam novel ini menceritakan perpisahan itu tat kala Sukarno mulai menapaki jalur puncak kekuasaan yang serba gemerlap dan megah. Inggit hanya bisa menemai di bagian awal saja, yakni saat Sukarno hidup kesulitan karena berada dalam pembuangan kolonial. Dan dari pernikahannya itu, Sukarno-Fatmawati dikarunia lima orang anak,  dua lelaki,  tiga perempuan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement