Senin 17 Dec 2018 09:31 WIB

Sukarno, Tokoh Islam, Aidit: Kisah Geger Poligami

Tokoh Islam tidak pernah ikut melarang poligami, meski mereka tak melakukannya.

Sukarno membonceng Fatmawati.
Foto:
Sukarno membonceng Fatmawati.

Meskipun keinginan untuk memiliki keturunan sebagaimana diimpikan sejak masa pembuangan di Bengkulu, telah terpenuhi, ternyata kenyataan itu tidak meredam hasratnya untuk menikah lagi. Kali ini Bung Karno menikah dengan seorang janda bernama Hartini.

Mengapa Bung Karno mengawini Hartini?  "Alasannya sederhana saja," kata Bung Karno. "Alasan pokok yang telah berlaku sejak permulaan zaman, dan akan tetap berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi: aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya."

Pernikahan Sukarno dengan Hartini tentu saja menghebohkan jagat politik Indonesia. Apalagi pada saat itu,  Juli 1953, segolongan orang yang beremansipasi sedang memperjuangkan undang-undang perkawinan yang --dalam istilah Bung Karno-- memberantas poligami. "Wanita-wanita Islam ini hendak mencoba membantu Nabi Muhammad dan akan mengubah peraturannya," ujar Bung Karno.

Tepat pada saat itulah,  Bung Karno menikahi Hartini.  Maka unjuk rasa para pendukung emansipasi itu mengarah ke istana, memprotes perkawinan Sukarno dengan Hartini. Yang membikin hati Bung Karno susah,  koran-koran mulai menyerangnya.

Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mengecam pernikahan itu. Menurut Bung Hatta, perkawinan seorang presiden, baik untuk yang pertama kali atau untuk yang kedua, perlu dikaitkan dengan pertanyaan: "apakah perkawinan itu tidak merusak kehormatan negara,  dan tidak membahayakan keselamatan negara." Dalam hal ini,  kata Hatta,  perkawinan Sukarno dengan Hartini "tidak dapat disebut suatu hal yang prive."

Di kemudian hari, Hatta bukan saja bersikap dingin terhadap Hartini, tetapi sedapat mungkin dia menjauhinya. Menurut ingatan Deliar Noer, barulah sesudah Sukarno meninggal sikap terhadap Hartini melunak. Hartini pun acap ke rumah Hatta.

Fatmawati tidak dapat menerima perkawinan tersebut. Dia marah dan mengajukan permintaan cerai kepada Bung Karno. Pada awal 1955, Fatmawati memajukan gugatan cerai,  tetapi Bung Karno menolaknya.  Fatmawati yang marah,  tidak mau lagi tinggal di istana. Dia memilih tinggal sendiri di rumah pribadi di kawasan Jakarta Selatan. Status Fatmawati itu oleh Bung Hatta disebut "digantung tidak bertali."

Bung Karno sendiri berpendapat, Fatmawati tidak perlu marah. "Istriku yang pertama dan kedua adalah orang-orang Islam yang saleh,  menyadari akan hukum-hukum Islam. Dan mereka mengerti. Atau seharusnya mengerti, bagaimanapun juga," tutur Bung Karno.

Ada pro,  ada juga kontra. Itulah sunnatullah. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Islam Indonesia Bukittinggi, H. Ahmad Darwisj Djambek dan Mansjur Thalib,  mendukung perkawinan itu.

"Perkawinan Bung Karno dan Nyonya Hartini adalah hak Bung Karno dan Nyonya Hartini sendiri yang oleh beliau-beliau telah dipergunakan dengan sebaik-baiknya menurut ajaran Islam." Pimpinan Partai Islam itu menambahkan: "Bagi orang yang mencintai Islam tentulah akan memuji perkawinan ini."

Namun, Hartini ternyata bukan pelabuhan cinta terakhir Bung Karno. Sesudah itu Bung Karno menikah lagi dengan beberapa perempuan. Di antara para perempuan itu,  yang sering tampil ke publik adalah Ratnasari Dewi Sukarno. Di luar itu ada disebut-sebut nama Haryati,  Jurike Singer,  dan Hilda.

Khusus terkait dengan kisah Inggit dan Fatmawati, di pertengahan tahun 1970-an, atas perantara Ali Sadikin kedua sempat bertemu. Dalam perteman yang mengharukan itu, Fatmawati meminta maaf secara langsung kepada Inggit. Atas pemintaan maaf Fatmawati itu, Inggit telah lama memaafkan seraya berkata dalam bahasa Sunda:

"Kalau orang merasa sakit karena dicubit, maka janganlah mencubit." Inggit dan Fatmawati kemudian berpelukan.

Di lain hari, Inggit yang mulai sepuh sering dikunjungi Hartini. Bahkan keduanya terlihat kompak. Sukarno sendiri, semasa menjabat presiden, beberapakali mengunjungi Inggit. Bahkan, pada tahun 1962-an, Sukarno khusus menjenguk Inggit saat Inggit sakit.

''Giet, sakit apa?,'' tanya Sukarno dengan suara khas baritonnya.

"Alah sakit sedikit Kus (Kusno, nama kecil Sukarno),'' sahut Inggit. Semenjak pertama kali kenal Sukarno di awal 1920-an di rumah suami pertamanya di Bandung, dr Sanusi, Inggit memang selalu memanggil Sukarno dengan Kusno. Tak hanya menjenguk Inggit, Sukarno setiap bulan juga selalu mengirimkan uang untuk Inggit. Bahkan Inggit juga mendapat tanda jasa sebagai pejuang perintis kemerdekaan.

Tak hanya itu, para isteri Sukarno yang lain, ketika Sukarno tak lagi berkuasa kerap menjenguk Inggit. Mereka ternyata menganggap Inggit  sebagai penasihat atau ibunya. Ketika Inggit wafat di tahun 1980-an, Ratna Sari Dewi yang saat itu tinggal di Paris datang langsung untuk bertakziah.

Dari penuturan anak angkat Inggit, Ratna pun menangis sedih ketika melihat jenazah Inggit di bawa ke pemakaman yang tak jauh dari tepat tinggal terakhirnya di kawasan pinggiran Bandung. Makam Inggit masih ramai dikunjungi hingga kini.

Jadi itulah sepenggal kisah kontroversi poligami yang terjadi pada tokoh Indonesia. Apakah anda mengecam atau mendukungnya?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement