Jumat 14 Dec 2018 05:33 WIB

Ini Yang Harus Dipertimbangkan Soal Batas Usia Perkawinan

Kehamilan di luar nikah sehingga orang tua menempuh opsi menikahkan anaknya.

Rep: Fauziah Mursid, Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Setop Perkawinan Anak
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Ilustrasi Setop Perkawinan Anak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus perempuan PKS Ledia Hanifa Amaliah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi terkait batas usia perkawinan perempuan 16 tahun. Menurutnya, DPR harus mencermati sejumlah hal jika ingin merevisi batas usia 16 tahun untuk perempuan menikah tersebut.

Hal tersebut di antaranya, yakni kehamilan di luar nikah sehingga orang tua menempuh opsi menikahkan anaknya meski berusia kurang dari 18 tahun. "Kasus di kita  pernikahan itu tidak melulu pernikahan karena dipaksa, tidak melulu kondisi ekonomi, tetapi bisa jadi pergaulan bebas, potensi-potensi harus ditutup," ujar Ledia, Kamis (13/12). 

Ledia berpendapat batas usia 16 tahun yang ditentukan DPR dan pemerintah dalam Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 tentang Perkawinan mempertimbangkan potensi hal tersebut. Ia menambahkan meskipun batas usia nikah itu dimundurkan tidak lagi 16 tahun, tetapi tidak menjamin persoalan-persoalan itu bisa selesai.

Nah, potensi itu bisa ditutup nggak kalau dimundurkan. Nah, potensi-potensi itu yang harus dipikirkan,” kata dia. 

photo
Anggota F-PKS Ledia Hanifah (Republika)

Selama ini, menurut anggota Komisi X DPR itu, Undang-Undang Perlindungan Anak sudah menyatakan batas usia pernikahan 18 tahun. UU Perlindungan Anak menyatakan orang  tua itu tidak boleh memaksa anak menikah di bawah usia 18 atau di bawah usia anak.

“Usia anak itu kan definisinya di bawah 18 tahun," kata Ledia.

Karena itu, ia memprediksi pembahasan revisi UU Perkawinan tidak akan selesai dengan cepat. Sebab, masing-masing fraksi bakal memiliki pandangan masing-masing soal batas usia nikah bagi perempuan.

"Ini perkara implementasi dan seterusnya akan sangat panjang, karena ini keputusannya kan baru, tentu masing-masing fraksi masih akan bahas tentang ini," katanya.

KUA tolak pernikahan anak

photo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi hakim MK memimpin sidang putusan uji materi di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi terkait batas usia perkawinan perempuan 16 tahun, Kamis (13/12).

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas) Kementerian Agama (Kemenag) Prof Muhammadiyah Amin menyatakan Kantor Urusan Agama (KUA) sebenarnya berusaha mengimplementasikan UU Perlindungan Anak soal batas usia perkawinan. Prof Amin menerangkan selama ini, Kantor Urusan Agama (KUA) kerap menolak perkawinan di bawah usia 18 tahun. 

UU Perkawinan menyebutkan usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Sementara UU Perlindungan Anak menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. 

Akan tetapi, ia mengatakan, calon pengantin dan keluarganya biasanya melakukan upaya dengan cara meminta dispensasi dari Pengadilan Agama. Ia menerangkan, kalau Pengadilan Agama memberikan dispensasi kepada calon pengantin maka tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan KUA. 

Sebab, KUA tidak dapat melakukan upaya banding atas putusan Pengadilan Agama itu. Untuk itu, KUA harus menikahkan calon pengantin di bawah umur tersebut. 

"Ketika KUA menikahkan (calon pengantin) di bawah umur, yang banyak disalahkan masyarakat adalah KUA, padahal itu hasil dispensasi," ujarnya, Kamis.

Terkait hal, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyatakan akan berikirim surat ke Mahkamah Agung (MA) untuk mendorong adanya pendidikan terkait hak anak bagi hakim pengadilan agama. Selain merespons putusan MK, Sekretaris Menteri Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, surat juga terkait diskusi Kementerian PPPA dengan MA pada Kamis kemarin.

“Pejabat MA tadi mengatakan perlunya peningkatan kapasitas para hakim di pengadilan agama untuk menangani perkara pernikahan anak. Sebab selama ini, yang dipahami peradilan agama sampai hari ini hanya sebatas pidana umum biasa," ujarnya, Kamis.

Artinya, dia menambahkan, pihak pengadilan agama hanya mempertimbangkan sisi hukum dan tidak menanyakan psikologis anak mau dinikahkan. Soal keinginan, ia mengatakan, hakim justru bertanya pada orang tuanya atau neneknya mengenai pernikahan keturunan mereka. 

"Jadi kami sepakat dan memandang perlunya peningkatan kapasitas untuk hakim pengadilan agama," katanya.

photo
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana S Yembise (kedua kiri) mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak. (ANTARA)

Ia mengatakan perkawinan bukan hanya persoalan usia, melainkan biologis, psikologis, ekonomi, dan sosial. Selain itu, ia mengatakan masyarakat juga perlu memiliki pemahaman yang komprehensif terkait bahaya perkawinan anak.

Ia menyebut banyak laporan yang masuk ke instansinya bahwa perkawinan anak rata-rata bermasalah karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kemudian berujung ke perceraian. "Yang juga tak kalah penting adalah mempersiapkan agar anak laki-laki dan perempuannya sebelum menikah sudah siap secara ekonomi, sosial, biologis, dan psikologis,"  ujarnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkait batas usia perkawinan anak. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi.

"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (13/12).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement