Senin 10 Dec 2018 21:59 WIB

Tujuh Masalah Sistem Zonasi Menurut Komisi X DPR

Kemendikbud perlu menggandeng Pemda untuk membuat survei ketersediaan guru

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hetifah Sjaifudian mengungkap masih adanya tujuh masalah saat diterapkannya sistem zonasi.

"Masalah pertama adalah terbatasnya jumlah guru," katanya saat diskusi bertema "Menata Guru dengan Sistem Zonasi : Mulai Dari Mana?”, di Jakarta, Senin (10/12). Ia menjelaskan, jumlah guru di daerah yang tidak selalu memadai dan ini bisa menjadi masalah jika implementasi sistem ini dilakukan serentak di semua level pendidikan dasar dan menengah.

Baca Juga

Ia mengakui memang di tingkat sekolah dasar (SD) hanya dibutuhkan guru kelas sedangkan di tingkat sekolah menengah atas (SMA) sederajat harus disesuaikan dengan keahlian dan mata pelajaran yang diajarkan. Karena itu jika jumlah guru kurang, menurutnya sistem zonasi paling mudah diterapkan di tingkat SD karena guru SD yang masih bisa merangkap guru kelas.

Masalah kedua, dia melanjutkan, yaitu persoalan pemetaan guru. Ia meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki data pemetaan guru baik dari sisi jumlah, komposisi guru PNS dan non-PNS, dan bidang keahlian mata pelajaran. Karena itu, ia meminta Kemendikbud menggandeng pemerintah daerah (pemda) untuk membuat survei ketersediaan dan kebutuhan guru terutama di daerah yang sulit dijangkau seperti 3T.

Masalah ketiga, evaluasi dan perbaikan dari kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Menurutnya perlu evaluasi atau perbaikan di sistem zonasi yang sebelumnya sudah diterapkan di PPDB beberapa waktu lalu.

Sehingga kelemahan sistem zonasi dalam PPDB tidak akan terjadi lagi di pelaksanaan sistem zonasi dalam waktu dekat. "Kita tahu ada kesalahan jadi tidak mungkin kembali dilakukan," ujarnya.

Kemudian ia menyebut masalah keempat adalah kondisi masing-masing daerah atau geografisnya. Ia meminta Kemendikbud harus memperhatikan kondisi geografis di daerah.

Perkataannya bukan tanpa alasan, ia mengaku baru tiga hari lalu mengunjungi satu sekolah dasar (SD) di daerah 3T yang berjarak hanya tiga kilometer dari kantor kecamatan yang ternyata masih menerapkan kurikulum KTSP, bukan kurikulum 2016. Masalah kelima, koordinasi dan konsolifasi dengan Pemda. Ia meminta Kemendikbud perlu memperhatikan kesulitan yang mungkin terjadi di lapangan karena benturan dengan kewenangan pemda yang memutasi dan merotasi guru.

Masalah keenam, yaitu koordinasi dan konsolidasi dengan lintas kementerian terkait komposisi guru PNS dan non PNS. Ia meminta jika dampak dari kebijakan zonasi ternyata mempengaruhi perekrutan guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Ia pun meminta Kemendikbud harus menjamin guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun agar mendapatkan prioritas. Kemendikbud juga menunggu data kebutuhan guru Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) terkait komposisi ratusan ribu guru yang akan direkrut jadi PNS.

Masalah terakhir yaitu membenahi sistem pengembangan keprofesian berkelanjutan. Ia meminta Kemendikbud harus membangun pengembangan karir bagi guru. Karena itu ia meminta perlu disiapkan penataan berkelanjutan supaya perubahan-perubahan yang lebih baik ke depan menunjang kualitas pendidikan sekolah ke depannya. 

"Saya kira pada prinsipnya DPR mendukung (kebijakan zonasi) namun tetap perlu memperhatikan tujuh poin masalah tadu agar proses revitalisasi pendidikan bisa diwujudkan dan bisa berkelanjutan. Kemudian sekolah sebagai basis pendidikan dan guru sebagai kunci dari sumber penghasilan," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement