Senin 10 Dec 2018 04:56 WIB

KPK Usulkan Seluruh Dana Pemilu dari APBN, Ini Alasannya

Pendanaan penuh pemilu untuk menghindari politik balas budi yang rentan korupsi.

Peresmian Pusat Edukasi Antikorupsi. Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan sambutan sebelum peresmian Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi di Gedung KPK lama, Jakarta, Senin (26/11).
Foto: Republika/ Wihdan
Peresmian Pusat Edukasi Antikorupsi. Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan sambutan sebelum peresmian Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi di Gedung KPK lama, Jakarta, Senin (26/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan kepada pemerintah agar pendanaan kontestasi pemilu bagi para pesertanya didanai secara penuh oleh keuangan pemerintah. Langkah ini untuk menghindari politik balas budi yang rentan membuka peluang korupsi.

"KPK sudah usulkan itu berdasarkan kajian di banyak negara. Salah satunya adalah Jerman yang secara full membiayai kegiatan pemilu dari pemerintahnya. Secara bertahap jangan terlalu lama perlu disesuaikan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo pada peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2018 di Gelanggang Olahraga (GOR) Kota Bekasi, Ahad (9/12).

Sisi positif dari pendanaan secara penuh melalui keuangan pemerintah, akan memudahkan Badan Pengawas Keuangan (BPK) melakukan monitoring pemanfaatan dana oleh kontestan. "Kalau masuk dari uang negara, audit BPK bisa jauh lebih dalam pada tata kelola dana partai," katanya.

Agus pun mengimbau para kontestan Pemilu 2019 untuk menghindari politik balas budi yang rentan membuka peluang korupsi. Agus mengatakan sekarang ini ada peluang kontestan Pemilu 2019 mendapatkan pendanaan pihak ketiga untuk kebutuhan pencalonan mereka.

Ia menerangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 mengamanatkan alokasi pendanaan partai politik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 1.000,00 per suara. Akan tetapi, jumlah itu sangat jauh dari kebutuhan partai.

Agus pun mengilustrasikan pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah. Saat ini, ia mengatakan, rata-rata gaji seorang kepala daerah berkisar Rp 5,1 juta hingga Rp 5,8 juta per bulan.

Padahal, Agus melanjutkan, biaya menjadi kepala daerah biaya sangat mahal. "Apakah dana pinjaman itu mau dihibahkan atau dikembalikan? Cara memilih pun supaya tidak timbulkan biaya tinggi harus diperbaiki," kata dia.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement