Kamis 06 Dec 2018 16:47 WIB

'Dibutuhkan Relawan untuk Dinginkan Suasana'

Harusnya timses dan pendukung saling jual program.

 Facebook dan Twitter menggabungkan diri dengan jaringan beranggotakan 30 perusahaan media dan teknologi untuk memerangi berita palsu (hoax).
Foto: BBC
Facebook dan Twitter menggabungkan diri dengan jaringan beranggotakan 30 perusahaan media dan teknologi untuk memerangi berita palsu (hoax).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinamika jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 semakin tidak terkendali. Hal itu dipicu oleh cara dan tindakan para tim sukses (timses) dan pendukung seperti rem blong dalam melancarkan kampanye. Saling serang, saling ejek, saling hina, saling caci, dan saling benci, terus menggema baik di jagat nyata maupun jagat maya.

“Harusnya timses dan pendukung saling jual program dan keunggulan calonnya ke masyarakat, bukan malah memprovokasi pendukungnya untuk saling menjelekkan dan menyerang lawan,” ujar pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio di Jakarta, Kamis (6/12).

Hendri mengungkapkan, sesuai teori, proses demokrasi itu akan langgeng dan damai dilaksanakan bila tercapai tidak hal. Ketiga hal itu yaitu ekonomi merata, hukum yang tidak tebang pilih, kedewasaan berpolitik termasuk didalamnya toleransi.

Tapi yang terjadi sekarang ini, lanjut Hendri, kombinasi dari tiga hal itu yaitu ekonomi yang dianggap sebagian masyarakat tidak terlalu baik, hukum juga dianggap masih tebang pilih, dan sampai hari ini tentang kedewasaan politik, terutama toleransi dan identitas masing-masing warga negara masih yang ada ada kaitannya dengan jatidiri masing-masing.

“Itulah yang membuat timses seperti rem blong dan itu menjadi kegagalan yang diciptakan timses. Padahal kegagalan timses notabene adalah kegagalan capres dan cawapres 2019,” kata Founder lembaga survei KedaiKopi ini.

Menurut Hendri, kultur masyarakat Indonesia itu masih mengikuti tokoh dan panutannya. Kalau panutannya adem-ayem, maka mereka juga adem pula. Sekarang panutannya belum debat, belum berdiskusi, belum berpolemik di ranah yang substantif tapi masih ranahnya kampanye sudah saling serang, saling tuding sehingga memunculkan kata-kata viral seperti saya tabok, wong boyolali, lulusan SMA hanya jadi ojek, dan lain-lain.

Selain itu, pada 2014 lalu, waktu kampanye hanya sebentar, sementara sekarang waktunya 6 bulan. Sekarang baru 2 bulan saja dinamikanya sudah seperti saat ini, padahal masih ada waktu 4 bulan lagi ke masa pemiihan.

“Tanpa disadari, akibat waktu kampanye terlalu lama, masyarakat jadi terjebak dengan lamanya waktu kampanye itu dan itu membuat mereka terjebak juga dalam lingkaran media sosial (medsos). Ironisnya mereka tidak sadar medsos makin penuh dengan berbagai hal negatif seperti hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam, adu domba, dan lain-lain,” papar Hendri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement