Kamis 06 Dec 2018 19:25 WIB

Kegamangan Guru Honorer

Guru honorer menolak PP karena dianggap tidak memberi kejelasan nasib.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Pada puncak peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-73 PGRI pada 1 Desember 2018, Presiden Joko Widodo memberikan kado bagi para guru honorer. Ia dengan lantang mengumumkan bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pengangkatan PPPK, kata dia, menjadi peluang bagi para guru honorer yang berusia di atas 35 tahun untuk mendapatkan kesejahteraan layaknya guru PNS.

“Telah kita terbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang manajemen pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja yang membuka peluang pengangkatan guru bagi yang telah melampaui usia maksimal yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menjadi PNS dengan hak yang setara dengan PNS kita,” kata Jokowi dalam sambutannya.

Namun, kado ini sama sekali tidak menjadi kado indah bagi guru honorer. Berbagai forum guru menolak PP tersebut karena dianggap tidak memberi kejelasan nasib. Bahkan isi dari PP tersebut dinilai hampir sama dengan memindahkan tanda tangan Bupati/wali kota atau Gubernur kepada menteri.

Ikatan Guru Indonesia (IGI) beranggapan PP yang dikeluarkan pemerintah tidak banyak berbeda dengan system Pegawai Tidak Tetap (PTT) atau guru honorer selama ini. Persoalan yang dialami guru honorer pun tidak terpecahkan dengan adanya peraturan tersebut mulai dari penggajian yang tidak jelas apakah dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah, seleksi calon PPPK juga dinilai ketat dan memberatkan karena mewajibkan guru memiliki sertifikat profesi.

"Maka hampir bisa dipastikan honorer yang ada saat ini akan sangat banyak yang akan kehilangan statusnya (karena tidak memiliki serifikat),” Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli belum lama ini.

Forum Honorer Kategori Dua Persatuan Guru Republik Indonesia (FHK2-PGRI) juga mendesak agar PP 49/2018 tentang Manajemen PPPK dicabut. Forum ini beranggapan peraturan tersebut bertentangan dengan azas kepastian hukum dan rasa keadilan. Peraturan juga dinilai bertentangan dengan Undang-undang (UU) Perburuhan. Karena masa kontrak kerja hanya maksimal 2 kali satu tahun sebelum diangkat sebagai Pegawai Tetap, sedangkan masa kontrak PPPK adalah minimal satu tahun atau maksimal lima tahun untuk satu periode kontrak.

"Peraturan pemerintah yang membuat resah, honorer galau nasibnya semakin susah," jelas pengurus pusat FHK2-PGRI Riyanto Agung Subekti.

Kekecewaan para guru telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Forum guru pun sepakat untuk melanjutkan kekecewaan tersebut ke tingkat yang lebih tinggi yakni gugatan ke Mahkamah Agung. Ada beberapa pasal yang akan digugat karena dinilai tidak rasional dan cacat hukum. Misalnya pasal 10 ayat (1), pasal 16, pasal 26, pasal 37, pasal 57 dan pasal 60.

Pasal 10 ayat (1) PP 49/2018 menyebutkan bahwa pengadaan PPPK akan dilakukan secara nasional berdasarkan perencanaan kebutuhan jumlah PPPK. Pasal 16 yang mengatur tentang syarat pelamar PPPK. Pasal 16 menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PPPK dengan memenuhi persyaratan, salah satunya yaitu usia paling rendah 20 tahun dan paling tinggi satu tahun sebelum batas usia tertentu pada jabatan yang akan dilamar.

Selanjutnya, pada pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan bahwa panitia seleksi instansi pengadaan PPPK dapat melakukan uji persyaratan fisik, psikologis dan atau kesehatan jiwa dalam pelaksanaan seleksi kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan pada instansi pemerintah. Pasal selanjutnya yang akan digugat yakni pasal 37 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Masa Hubungan Perjanjian Kerja bagi PPPK paling singkat 1 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan penilaian kerja.

Lalu bagian kelima tentang pemutusan hubungan perjanjian kerja pasal 57 ayat (1). Yang menyebutkan bahwa dalam hal terjadi perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK, maka akan dilakukan pemutusan hubungan perjanjian kerja. Pasal yang juga tidak memberi kepastian hukum terdapat pada bagian ke-8 pasal 60 ayat (1) yang menyebutkan bahwa PPPK yang tidak memenuhi target kinerja akan dilakukan pemutusan hubungan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c berdasarkan hasil penilaian kinerja.

Nampaknya, guru honorer masih harus memperjuangkan kejelasan nasibnya setelah PP 49/2018 diterbitkan. Para guru pun harus menunggu dengan sabar proses gugatan ke Mahkamah Agung yang kemungkinan membutuhkan waktu yang tak sebentar.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement