Kamis 06 Dec 2018 08:33 WIB

Insiden Nduga, Trans-Papua, dan Militer

Seluruh karyawan Istaka Karya di Trans-Papua pekerja sipil, bukan TNI/Polri.

Pembunuhan puluuan pekerja di Papua.
Foto: Dok republika
Pembunuhan puluuan pekerja di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fitiriyan Zamzami, Umar Mukhtar

Pembangunan Jalan Trans-Papua terganggu dengan insiden penyerangan oleh TPN/OPM di Nduga, awal pekan ini. Bagaimana sedianya korelasi antara pembangunan infrastruktur tersebut dan kondisi terkini di Papua?

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menuturkan pada Republika, ia sempat berkunjung ke salah satu lokasi pembangunan Trans-Papua di Batas Batu, perbatasan Wamena-Nduga. Tepatnya, tak jauh dari Danau Habema di Distrik Mbua, Nduga. “Di situ cuacanya bisa mencapai enam derajat (Celsius), ketinggian 3.000 meter (di atas permukaan laut,” kata dia, melalui sambungan telepon, Rabu (5/12).

Cahyo datang pada awal Juni lalu dengan berkendara dari Wamena guna mengumpulkan bahan untuk penelitiannya tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap penghidupan orang asli Papua. “Di perbatasan saya sudah dicegat dua orang dengan panah,” ujar dia. Ia menyatakan, pihak yang mencegatnya merupakan anggota keamanan adat warga tempatan yang biasa berafiliasi dengan TPN/OPM.

Tiba di sekitar Danau Habema, ia menemui sejumlah warga dan pejabat yang tengah meninjau. Ia kemudian menanyakan soal siapa yang mengerjakan Jalan Trans-Papua di lokasi tersebut. Cahyo mendapat informasi bahwa ruas jalan sepanjang Wamena hingga Nduga sebagian besar dikerjakan oleh TNI AD dari satuan Zeni Tempur.

“Biasanya memang tentara karena masyarakat sipil tidak berani,” kata Cahyo mengutip informasi yang ia peroleh.

Jalur Wamena-Nduga masuk dalam Segmen Lima Jalur Trans-Papua yang menjadi lokasi insiden pada Ahad (2/12) lalu. Sementara, jalur dari Wamena menuju Elelim, Kabupaten Yalimo, kebanyakan dibangun pekerja sipil. “Ada warga Papua juga yang bekerja di situ,” kata Cahyo.

Ia lalu menyatakan, pembangunan jalur Trans-Papua yang beraspal juga kerap disertai dengan pendirian pos TNI di sisi-sisi jalan. Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa jalur tersebut merupakan penegasan wilayah NKRI di Papua.

“Jadi, wilayah kekuasaan kita, wilayah kekuasaan Indonesia, ya hanya sepanjang jalan aspal itu saja,” ujar dia berkelakar.

Sementara, wilayah pegunungan tengah Papua yang jauh dari jalan aspal, kata Cahyo, merupakan kawasan yang dikuasai kelompok separatis. Kelompok yang disebut pemerintah dengan nama TPN/OPM tersebut, kata Cahyo, lancar bergerak secara mobile di gunung-gunung di Nduga, Lani Jaya, Puncak Jaya, dan sekitarnya.

“Artinya, ada persepsi di sana bahwa pembangunan Trans-Papua terkait dengan TNI secara langsung maupun tidak langsung,” kata dia.

Selain itu, kata dia, setidaknya dalam jangka pendek pihak yang mampu memanfaatkan jalur Trans-Papua baru kaum pendatang saja. Hal ini karena mereka yang memiliki modal dan sumber daya untuk hal itu. “Sementara, orang asli Papua masih harus jalan kaki dari kampung mereka membawa sayur atau kayu sampai ke pinggir jalan,” ujar Cahyo.

Berbagai faktor itu kemudian membuat pasukan TPN/OPM punya dukungan di kalangan masyarakat. Para anggota kelompok separatis kerap juga merupakan anggota masyarakat adat. Yang membedakan, kata Cahyo, hanya bahwa anggota kelompok TPN/OPM membawa senjata dan warga tempatan tidak. “Jadi, eksistensi Republik di masyarakat Papua memang harus dipertanyakan,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement