Selasa 04 Dec 2018 06:30 WIB

Telisik Aliran Dana Meikarta, KPK Panggil Aher?

Aher diketahui turut merekomendasikan izin proyek pembangunan Meikarta.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nashih Nashrullah
mantan gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan
Foto: Republika/Edi Yusuf
mantan gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menelisik adanya dugaan aliran dana dalam rencana revisi peraturan daerah tentang tata ruang di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah menilai revisi perubahan perda tersebut diduga dilakukan oleh pejabat Kabupaten Bekasi untuk memuluskan izin proyek Meikarta, Kabupaten Bekasi.

"Apakah ada atau tidak aliran dana untuk revisi Perda tentang tata ruang tersebut, tentu juga jadi perhatian KPK," kata Febri dikonfirmasi, Senin (3/12).

Penyidik, sambung Febri, juga telah memeriksa sejumlah pihak dari para petinggi Lippo Group, pejabat Kabupaten Bekasi, maupun pejabat Provinsi Jawa Barat, adanya dugaan pihak-pihak yang meminta merubah perda tata ruang di kabupaten Bekasi.

"Kami sedang menggali adanya indikasi permintaan pihak-pihak tertentu untuk mengubah aturan tata ruang Bekasi agar mempermudah perizinan proyek Meikarta," ujarnya.

Pada Senin (3/12), penyidik memeriksa Waras Wasisto, DPRD Provinsi Jawa Barat dan Fitradjaja Purnama, swasta sebagai saksi. Penyidik juga memanggil Jejen Sayuti  Pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi sebagai saksi, namun yang bersangkutan tidak hadir dan meminta dijadwal ulang pada Rabu (5/12) dengan alasan surat panggilan baru diterima. 

Selain para saksi, penyidik juga memeriksa dua tersangka yakni Hendry Jansen, konsultan perijinan Proyek Meikarta dan wiraswasta Taryadi. 

"Kepada saksi dan tersangka, KPK mendalami lebih lanjut ada atau tidak dugaan aliran dana untuk melakukan perubahan tata ruang di Kabupaten Bekasi. Kami telah mengidentifikasi adanya upaya mengubah aturan tata ruang yang disesuaikan untuk mengakomodir pihak tertentu, dalam hal ini diduga demi kepentingan untuk membangun proyek Meikarta," tutur Febri.

Setelah dicermati, perizinan Meikarta diduga bermasalah sejak awal. Salah satu faktornya adalah karena pembangunan proyek Meikarta hingga ratusan hektar memang diduga tidak memungkinkan dilakukan di lokasi saat ini karena ada indikasi pelanggaran hukum tata ruang di sana. 

"Oleh karena itulah, kami mendalami dugaan pihak tertentu yang mencoba mengurus perubahan tata ruang ini melalui penyusunan peraturan daerah di Bekasi yang tentu harus melibatkan DPRD setempat. Dalam konteks itulah, KPK melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPRD Kabupaten Bekasi di kasus ini," terangnya.

Bahkan, lanjut Febri, tak menutup kemungkinan memanggil mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Aher sapaan akrab Ahmad Heryawan merupakan mantan Gubernur Jawa Barat dua periode sejak 2008-2013 sampai 20013-2018, hingga akhirnya digantikan oleh pemenang pilkada Gubernur Jawa Barat 2018, Ridwan Kamil.

"Jika terkait penanganan perkara, tentu dimungkinkan untuk memanggil sebagai saksi karena kami perlu mendalami baik DPRD maupun pemerintah daerahnya, gubernur atau jajarannya pada saat itu (Aher mantan gubernur Jawa Barat)," ucap Febri.

Namun, sambung Febri, pemanggilan terhadap saksi adalah kewenangan penyidik KPK. "Apakah dibutuhkan saat ini atau pemeriksaan berikutnya. Tapi ada kemungkinan akan dipanggil,"ujar Febri

Aher diketahui turut merekomendasikan izin proyek pembangunan Meikarta karena berada di kawasan strategis provinsi. Hal itu diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022 Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.

Selain Neneng dan Billy, ‎KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya yakni, dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ).

Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat ‎MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).

‎Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal‎ 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal‎ 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B ‎Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement