Jumat 23 Nov 2018 14:21 WIB

Penyebab Jatuhnya Lion JT 610 Terungkap

Mesin tidak menjadi kendala dalam penerbangan ini

Petugas mengecek puing pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (7/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Petugas mengecek puing pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Fauziah Mursid

JAKARTA -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap data grafik dari kotak hitam atau blackbox flight data recorder (FDR) pesawat Lion Air JT 610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh pada 29 Oktober. Dari grafik itu diketahui terjadi masalah dalam penunjuk kecepatan antara kapten pilot dan kopilot.

Kepala Subkomite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan, saat pesawat Lion Air JT 610 mulai bergerak setelah lepas landas, terjadi perbedaan penunjukan kecepatan angle of attack (AoA) indikator milik kapten dan kopilot.

"Jadi, pada saat pesawat mulai bergerak, mulai terjadi perbedaan penunjukan kecepatan antara kapten dan kopilot. Angle of attack indikator sejak mulai dari pesawat bergerak sudah terlihat ada perbedaan antara kiri dan kanan, di mana indikator yang kanan lebih tinggi dari pada yang kiri," kata Nurcahyo dalam rapat kerja Komisi V DPR dengan Kementerian Perhubungan, Basarnas, dan jajaran lainnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11).

Pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10), setelah lepas landas dari Jakarta. Hingga saat ini, petugas masih mengidentifikasi 189 penumpang dan awak pesawat yang menjadi korban.

Menurut Nurcahyo, grafik dari FDR mencatat dan menunjukkan pesawat mengalami stall, yaitu keadaan pesawat yang kehilangan gaya angkat sehingga tidak sanggup lagi melayang di udara mengakibatkannya jatuh dari ketinggian dan tidak terkendali. Saat itu, kemudian stick shaker bekerja membuat sisi kemudi kapten pilot bergetar untuk mengingatkan pesawat akan stall atau kehilangan daya angkat.

"Saat menjelang terbang, di sini tercatat bahwa ada garis merah di sini yang menunjukkan pesawat mengalami stall atau stick shaker. Jadi, itu adalah kemudinya di sisi kapten mulai bergetar. Ini adalah indikasi yang menunjukkan pesawat akan alami stall atau kehilangan daya angkat," kata Nurcahyo.

Nurcahyo mengatakan, grafik pesawat saat itu tetap terbang, dengan sempat turun sedikit kemudian naik lagi. Saat itu, pesawat berada di ketinggian 5.000 kaki atau 1.524 meter. Akibat pembacaan AoA yang kacau tersebut, mekanisme stabilizer trim atau alat untuk menurunkan hidung pesawat itu secara otomatis bekerja.

"Kemungkinan disebabkan angle of attack di tempatnya kapten yang berwarna merah ini menunjukkan 20 derajat lebih tinggi dan kemudian memacu terjadinya stick shaker mengindikasikan ke pilot bahwa pesawat akan stall kemudian automatic system atau MCAS menggerakkan pesawat untuk turun," kata Nurcahyo.

Bersambung ke halaman berikutnya..

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement