Rabu 21 Nov 2018 05:01 WIB

Ini Pendapat Khatibul Umam Soal Kartu Nikah

Rencana pembuatan kartu nikah tersebut tidak ada dalam RKAK/L

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Pasangan suami istri menunjukan kartu nikahnya seusai peresmian Aplikasi Pencatatan Nikah (SIMKAH) Web dan Kartu Nikah di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (8/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Pasangan suami istri menunjukan kartu nikahnya seusai peresmian Aplikasi Pencatatan Nikah (SIMKAH) Web dan Kartu Nikah di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (8/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi VIII DPR, Khatibul Umam Wiranu, mengatakan rencana Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan kartu nikah pada tahun 2019 dari perspektif kebijakan publik mengandung kelemahan dari sisi filosofis maupun sisi yuridis. Alih-alih memberi nilai manfaat bagi publik, rencana ini justru membuat kegaduhan baru di publik.

“Dari sisi filosofis, keberadaan kartu nikah akan sulit dijelaskan oleh pihak Kemenag. Karena faktanya, kartu nikah bukanlah kartu identitas diri seseorang serta bukan pula menggantikan buku nikah,’’ kata Khatibul Umam Wiranu, di Jakarta, kepada Republika.co.id, Senin malam (20/2).

Menurutnya, dari sisi yuridis pengadaan kartu nikah juga  tak ada pijakan hukum atas rencana ini. Maka, jika ini dianggap sebagai diskresi Menteri Agama, justru rencana ini bertentangan dengan spirit Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) yakni asas bertindak cermat (principle of carefulness). Ide ini pun terindikasi tidak memiliki kecermatan. 

“Dampak lainnya, jika rencana ini terealisasi akan memunculkan mata anggaran baru sebagai konsekwensi dari keberadaan kartu nikah ini. Seperti biaya perawatan situs, pemeliharaan web, termasuk penggunaan sumber daya manusia (SDM) profesional yang khusus mengelola situs ini,’’ tegas Umam.

Sedangkan dari sisi penganggaran, lanjut Umam,  rencana pembuatan kartu nikah tersebut  tidak ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementeriaan/Lembaga tahun 2018. “Dalam RKAK/L tahun 2018  tercatat alokasi anggaran untuk buku nikah sebesar Rp 11 miliar. Jika pengadaan Kartu Nikah diambil dari alokasi buku nikah tentu ini menyalahi mekanisme penganggaran.”

‘’Untuk itu, saya menolak tegas rencana penerbitan kartu nikah karena lemah dari sisi filosofis, yuridis dan berpotensi menabrak asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik,’’ katanya.

Khatibul Umam kemudian menyarankan agar Menteri Agama fokus pada tugas, pokok dan fungsinya yang berbasis pada rencana kerja kementerian. “Ide dan inovasi boleh saja dilakukan, namun harus dikontestasikan terlebih dahulu di ruang parlemen dan publik,’’ tandas Khtaibum Umam menegaskan.

Sebelumnya, Kasubdit Mutu Sarana Prasarana dan Sistem Informasi KUA Kementerian Agama, Anwar Saadi, mengatakan tidak ada istilah bagi-bagi proyek dalam pengadaan kartu nikah yang baru diluncurkan Kemenag. Ia mengatakan, pengadaan kartu nikah dilakukan melalui tender terbuka dan dengan proses yang transparan.

Proses tender dilakukan oleh Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik Kemenag. Namun, ia tidak menyebutkan siapa perusahaan pemenang tender tersebut. "Pengadaan kartu nikah dilakukan melalui tender terbuka. Makanya kalau dibilang bagi-bagi proyek itu keliru, siapapun yang menang itu terbuka. Lalu siapa perusahaan pemenangnya, saya kira itu tidak usah diumumkan ke publik," kata Anwar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (15/11).

Anwar juga memastikan data yang ada di aplikasi kartu nikah aman dan tidak akan disalahgunakan. Kalau pun barcode-nya dihilangkan, data tidak akan terbaca. Sedangkan servernya yang terkait dengan Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah Berbasis Website (Simkah Web) dipegang oleh biro humas dan Pusat Data Informasi (Pusdatin) Kemenag.

Ia menambahkan, jika biaya pencetakan Kartu Nikah 2018 relatif murah, yaitu Rp 680. Menurutnya, yang mahal adalah aplikasi datanya. Di tahap awal, Kemenag telah mencetak sebanyak 500 ribu pasang kartu nikah. Pada 2019 mendatang, pemerintah berencana akan menerbitkan sebanyak 2,5 juta kartu nikah. 

Seiain itu, Pada Senin (19/11), Kementerian Agama menanggapi pemberitaan  terkait perusahaan pemenang tender dalam pengadaan Kartu Nikah.

Kasubdit Mutu Sarana Prasarana dan Sistem Informasi KUA di Kemenag, Anwar Saadi, pengadaan Kartu Nikah dilakukan melalui tender terbuka yang transparan dan akuntabel melalui Layanan Pengadaan Secara Eletronik (LPSE).

Karena itu, ia mengatakan, soal pertanyaan Republika.co.id terkait siapa pemenang pengadaan Kartu Nikah, bisa ditanyakan secara langsung kepada LPSE di Sekretariat Jenderal Kemenag.

"Saya tidak memiliki data untuk menjelaskan hasil lelang Kartu Nikah melalui LPSE. Jadi itu bisa ditanyakan langsung ke LPSE. Saya juga tidak dalam kapasitas melarang pengumuman pemenang lelang ke publik," kata Anwar, melalui keterangan rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (19/11).

Sementara itu, Anwar juga mengklarifikasi soal anggaran Pengadaan Kartu Nikah. Pada berita yang berjudul "Ini Perusahaan yang akan Garap Proyek Kartu Nikah" disebutkan anggaran pengadaan Kartu Nikah sebesar Rp 7,4 miliar.

Ia menjelaskan, anggaran tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi Kartu Nikah, melainkan juga untuk pencetakan buku nikah, Akta Nikah, Pemeriksaan Nikah, dan duplikat buku nikah. 

"Dari total anggaran tersebut, dialokasikan khusus untuk pengadaan kartu nikah sebesar Rp 1 miliar. Dari alokasi tersebut terserap Rp 680 juta, sesuai hasil lelang LPSE yang dimenangkan oleh PT Pura Barutama," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement