Jumat 16 Nov 2018 16:57 WIB

Komnas Perempuan: Putusan Nuril tak Sesuai Peraturan MA

Peraturan MA mencoba mengintegrasikan dimensi gender dalam perkara di pengadilan.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Andri Saubani
Baiq Nuril (40) dan suami, Lalu Muhammad Isnaeni (40), yang divonis bersalah karena dianggap menyebarkan percakapan mesum Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram di rumahnya, di Perumahan BHP Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11)
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Baiq Nuril (40) dan suami, Lalu Muhammad Isnaeni (40), yang divonis bersalah karena dianggap menyebarkan percakapan mesum Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram di rumahnya, di Perumahan BHP Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait kasus Baiq Nuril Maknun yang merekam percakapan asusila dari mantan kepala sekolah tempat dirinya pernah bekerja. Ketua Komnas Perempuan, Azriana R Manalu menilai putusan MA tidak sesuai dengan Peraturan MA RI nomor 3 tahun 2017.

PERMA RI nomor 3 2017 berisi tentang pedoman mengadili kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Peraturan tersebut mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam perkara di pengadilan.

Namun, pada kasus Baiq Nuril, Azriana menilai peraturan tersebut tidak diimplementasikan dengan baik. "Ada ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan. Kita tahu di Indonesia perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan seksual itu minim sekali," kata Azriana dalam konferensi pers di Kantor LBH Pers, Jakarta Selatan, Jumat (16/11).

Menurut Azriana, ada ketidaksetaraan perlindungan hukum dalam kasus Baiq Nuril. UU ITE sangat melindungi satu pihak, sementara pelecehan seksual yang terjadi kepada Nuril tidak dibahas dalam pengadilan. Akhirnya, justru Nuril yang harus dipenjara karena MA memutuskan ia melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE.

Komnas Perempuan juga menyayangkan sejak awal penegak hukum tidak menyoroti pelecehan seksual yang diterima Nuril. "Sejak di penyidikan pelecehan seksual tidak pernah dikembangkan pemeriksaannya. Jadi UU ITE terus, padahal kan objek yang disebut muatan asusila itu bisa dikategorikan pelecehan seksual," kata Azriana.

Ia pun berharap para penegak hukum dapat menggunakan sudut pandang gender dalam mengatasi kasus serupa dengan Baiq Nuril. Pasalnya, apabila dimensi gender tidak digunakan keadilan tidak akan tercipta sepenuhnya.

"Pentingnya aparat penegak hukum menggunakan dimensi gender. Karena tanpa menggunakan dimensi gender hal-hal kekerasan seksual ya g dialami korban tidak akan terlihat dan dikembangkan," katanya lagi.

Putusan MA menjatuhkan vonis bersalah terhadap Baiq Nuril dengan enam bulan kurungan dan denda Rp 500 juta mengejutkan sejumlah pihak. Nuril yang merupakan staf TU di SMAN 7 Mataram divonis bersalah menyebarkan percakapan asusila Kepala Sekolah SMU 7 Mataram Muslim.

MA memutuskan Nuril bersalah lantaran telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila. Putusan MA itu setelah jaksa mengajukan kasasi atas putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan Nuril.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement