REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang 2018 tercatat 19 Kepala Daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyaknya Kepala Daerah yang tertangkap OTT tersebut kemudian memunculkan keraguan atas Pilkada langsung.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai ada banyak faktor yang mempengaruhi seorang kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat melakukan korupsi. Pilkada langsung memang mempengaruhi namun ada banyak hal yang juga menyebabkan korupsi oleh Kepala Daerah terjadi.
"Sistem Pilkada langsung atau tidak itu bukan faktor tunggal," kata Titi, dalam diskusi bertajuk Darurat Korupsi Kepala Daerah, di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, Rabu (14/11).
Menurut Titi, salah satu hal yang menimbulkan marak korupsi oleh Kepala Daerah adalah regulasi Indonesia yang memiliki celah. Ia kemudian mencontohkan beberapa praktik politik transaksional yang tidak dianggap melakukan kesalahan meskipun kedua pihak mengakui adanya mahar politik.
"Seperti di Palangka Raya itu lebih ngeri lagi. Sudah ada yang mengaku memberikan uang, dan mengaku menerima tapi tidak dapat dilanjutkan karena barang bukti uangnya itu tidak ada," kata Titi melanjutkan.
Terkait hal ini, perlu dilakukan reformasi elektoral dan kepartaian melalui penataan regulasi. "Reformasi kerangka hukum elektoral kita harus tetrus diperbaiki," katanya menegaskan.