Kamis 08 Nov 2018 16:46 WIB

Aksi #KitaAgni demi Pengusutan Kasus Perkosaan Mahasiswi UGM

Ratusan mahasiswa UGM hari ini menggelar solidaritas untuk korban perkosaan.

Aksi solidaritas mahasiswa-mahasiswa Universitas Gadjah Mada di  Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11) siang menuntut pengusutan kasus  perkosaan yang diduga terjadi tahun lalu dalam kegiatan KKN di Maluku.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Aksi solidaritas mahasiswa-mahasiswa Universitas Gadjah Mada di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11) siang menuntut pengusutan kasus perkosaan yang diduga terjadi tahun lalu dalam kegiatan KKN di Maluku.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wahyu Suryana

Ratusan mahasiswa-mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (8/11), menggelar aksi solidaritas atas kasus perkosaan yang menimpa rekan mereka. Melalui aksi itu mereka mencoba mengetuk perhatian kampus untuk melakukan pengusutan secara tuntas.

Solidaritas ditunjukkan dengan mendatangi Taman Sansiro Fisipol UGM. Di sana, mereka membubuhkan tanda tangan, nama sampai nomor induk mahasiswa mereka sebagai dorongan agar kampus mau melakukan pengusutan.

Nama dan nomor induk mahasiswa diberikan sebagai penegasan jika dukungan itu tidak diberikan secara anonim. Hal ini sekaligus menjadi penekanan agar kampus tidak lagi memiliki dalih untuk tidak melakukan pengusutan.

Aksi mengusung tagar #KitaAgni. Agni, merupakan nama samaran yang digunakan pers kampus bernama Balairung Press, yang mengunggah tulisan hasil reportase tentang kasus perkosaan yang menimpa salah satu mahasiswi UGM.

Tulisan sendiri dikeluarkan saat pelaku yang hingga kini masih ditulis dengan inisial HS, ternyata melenggang bebas dan akan mengikuti wisuda. Nama pelaku bahkan disebut sudah terdaftar November ini untuk mengikuti wisuda.

Kasus perkosaan diduga terjadi akhir tahun lalu dalam sebuah kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku. Hingga kini, mereka merasa tidak ada penindakan tegas yang dijatuhkan kepada pelaku.

Dalam orasinya, Humas #KitaAgni, Cornelia Natasya, mengungkapkan keprihatinan atas tidak adanya usaha konkret UGM untuk memberikan keadilan bagi penyintas. Mereka malah melihat kampus abai.

"Telinga pejabatnya mungkin tersumpal mampat dengan ambisi nama baik kampus hingga tak lagi bisa mendengar jerit sakit Agni," kata Tasya berteriak, Kamis (8/11) siang, didampingi mahasiswa dan mahasiswi lain di sekitarnya.

Ia berpendapat, kampus justru keji mengatai penyintas dengan sebutan gereh, yang wajar jika dimakan kucing. Gereh, sebagai informasi, merupakan ikan yang dikeringkan dan membuatnya terasa asin.

Tasya mengingatkan, trauma penyintas kekerasan seksual dibawa seumur hidup, dengan terus dirundung rasa bersalah atas kejadian yang di laur kendalinya. Sebab, seumur hidup penyintas akan menerima cacian, hinaan dan makian.

Bahkan, mungkin ancaman pelaku yang sebentar lagi melenggang bebas menuju mimbar wisuda, bekerja dan melupakan segalanya. Berbanding terbalik dengan penyintas yang akan terus berjibaku dengan dirinya sendiri.

Berjibaku, mengumpulkan keping demi keping rasa percayanya kepada diri sendiri meyakinkan dirinya tidak bersalah. Serta, menguatkan dirinya melawan cemooh dan sindiran, membawa trauma itu seorang diri.

"Kita semua yang ada di sini dan banyak orang di luar sana bisa jadi Agni selanjutnya, tak satupun dari kita luput dari bahaya," ujar Tasya.

Aksi diselingi dengan membunyikan kentongan dan pluit. Gerakan itu dilakukan sebagai perwujudan tanda bahaya yang sedang terjadi di Universita Gadjah Mada, yang tidak lain merupakan bahaya darurat kejahatan seksual.

Kondisi penyintas

Kondisi penyintas kasus perkosaan hingga kini dipastikan aman. Humas #KitaAgni, Nadine Kusuma mengaku rekan-rekan #KitaAgni cukup aktif berkomunikasi dengan penyintas. Karenanya, semua aksi telah dulu mendapat persetujuan dari penyintas.

Melalui Nadine dan #KitaAgni, penyintas menyampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan sesama mahasiswa yang memberikan dukungan. Penyintas turut meminta maaf karena belum bisa hadir ke depan publik.

"Penyintas baik-baik saja, berterima kasih kepada teman-teman yang memberikan solidaritasnya, dan minta maaf tidak bisa hadir saat ini," kata Nadine kepada Republika, Kamis (8/11).

Namun, ia menekankan, penyintas memang mengalami cukup intimidasi, terutama dari pernyataan-pernyataan UGM yang dinilai janggal. Utamanya, saat kampus memutuskan untuk membocorkan inisial korban kepada media.

Selain itu, penyintas merasa pernyataan-pernyataan kampus tidak disertai bukti konkret penyelesaian, serta tidak mencantumkan aspirasi penyintas itu sendiri. Intimidasi itu sedikit banyak membuat penyintas tertekan.

"Lagi-lagi pihak kampus belum berkeadilan kepada penyintas, lalu belum ada pendampingan kepada penyintas, tidak perpenuhinya rekomendasi-rekomendasi tim investasi dan tidak jelasnya rencana penindaklanjutan kasus," ujar Nadine.

Meski begitu, ia menambahkan, sampai saat ini penyintas belum ingin membuat laporan ke polisi. Menurut Nadine, #KitaAgni akan menghormati apa saja keinginan penyintas, termasuk untuk belum melaporkan kasusnya ke polisi.

photo
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Erwan Agus Purwanto.

Penyelesaian secara etika dan pidana

Pelaku kekerasan seksual harus mendapat hukuman etika dan pidana. Secara akal sehat semua orang setuju dengan itu. Tetapi, jika bertemu kepentingan institusi, beragam pertimbangan membuat hukuman itu menjadi pilihan.

Kondisi itu kini terjadi di salah satu perguruan tinggi nomor wahid di negeri ini, UGM. Parahnya, kejadian itu terjadi tahun lalu. Artinya, kasus itu sudah terlunta berbulan-bulan tanpa ada kejelasan.

Selama itu, tidak ada tindakan 'berarti' yang dilakukan kampus sebagai bentuk penyelesaian kasus. Tentu, tidak perlu diperdebatkan apakah keputusan publikasi itu terlambat atau tidak. Yang jelas, tanpa ada sanksi berarti, pelaku melenggang bebas melanjutkan studinya, hingga akhirnya terdaftar sebagai salah satu wisudawan.

Ketidakseriusan kampus melakukan pengusutan tentu menjadi mata pisau. Sebab, jika cerita itu tidak benar, nama pelaku tidak akan bisa lagi dilepaskan dari predikat pelaku kejahatan seksual.

Sebaliknya, jika pelecehan seksual itu benar terjadi, tidak bisa dibayangkan seberapa hancur hidup penyintas yang selama ini dibiarkan menjadi gereh atau ikan asin. Ya, sebutan keji yang belakangan turut mengemuka.

Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto mengatakan, ada dua pilihan yang bisa dikenakan atas kasus ini. Pertama, melabeli kasus ini secara internal atau sebagai pelanggaran etika.

"Universitas sudah punya peraturan tentang ini," kata Erwan, Kamis (8/11).

Kedua, lanjut Erwan, tidak lain membawa persoalan ini ke ranah pidana. Sebab, mau dibela seperti apa pun, kasus ini merupakan delik yang seharusnya sejak awal sudah dilaporkan ke polisi.

Kasus ini bisa disematkan sebagai perkosaan atau pelecehan seksual. Sayang, hari berganti begitu lama sampai kasus ini seperti dianggap selesai, walau pelaku belum mendapatkan sanksi yang dirasa sesuai.

"Tentu saja semuanya harus paham kalau kita harus memperhatikan keberpihakan kepada penyintas," ujar Erwan.

Untuk itu, sampai saat ini, Erwan mengaku masih akan melakukan usaha-usaha membicarakan, terutama kepada penyintas. Sebab, Fisipol UGM sendiri tidak bisa melakukan tindakan-tindakan tanpa persetujuan penyintas.

Erwan berjanji, Fisipol akan mendengarkan pendapat penyintas, dan melakukan pertimbangan untuk mencari pilihan keputusan yang terbaik. Utamanya, tentu terbaik bagi penyintas yang masih berkuliah di UGM.

Erwan kemarin juga ikut menghadiri aksi solidaritas #KitaAgni. Pada kesempatan itu, Erwan turut membunyikan kentongan dan membubuhkan tanda tangan di baliho yang digelar. Setelah itu, Erwan mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa-mahasiswa yang memberikan dukungan penuntasan kasus tersebut.

"Kita menuntut pihak universitas segera menuntaskan kasus ini," kata Erwan, Kamis (8/11).

Ia mengimbau agar semua elemen UGM dapat mengawal kasus dituntaskan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya. Terutama, untuk tetap memberi keberpihakan kepada penyintas yang sudah lama menderita.

"Sudah lama menderita karena kasus ini tidak dituntaskan," ujar Erwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement