Rabu 07 Nov 2018 03:05 WIB

Mahasiswa UMM Kenalkan Terapi Gen Bagi Penderita Kanker

Metode ini menyuntikan gen P53 yang merupakan ‘malaikat penjaga’ kepada pasien.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Gita Amanda
Mahasiswa kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tengah melakukan  praktikum.
Foto: Humas UMM
Mahasiswa kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tengah melakukan praktikum.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) telah mengenalkan terapi gen bagi penderita kanker. Upaya ini bahkan berhasil membawa Radya Kusuma Ardianto dan Muhammad Mufti Al Anshori memenangkan kompetisi penulisan artikel ilmiah tingkat nasional.

Kolaborasi mahasiswa semester tiga dan tujuh ini mampu menarik perhatian juri atas artikelnya mengenai terapi gen untuk efektifitas penyembuhan penderita kanker. Artikel yang ditulis Radya dan Mufti memenangi ajang Biology Open House For Environmental Recognition (BIOSFER) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya (UB) beberapa waktu lalu.

Mahasiswa UMM, Radya Kusuma Ardianto menerangkan, ide artikel muncul karena di Indonesia sendiri penanganan terhadap pasien kanker hanya kemoterapi. Sementara metode ini memakan biaya yang teramat mahal, karena tidak bisa sekali pengobatan.

Di artikelnya, Radya dan Mufti memperkenalkan pengobatan dengan Terapi Gen. Metode ini menyuntikan gen P53 yang merupakan ‘malaikat penjaga’ kepada pasien untuk menggantikan P53 yang tidak berfungisi secara normal. Kondisi demikian jelas tidak bisa memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga diperlukan gen P53 sebagai penggantinya.

“Nah, untuk mengganti gen P53 ini perlu ‘kendaraan’. Kendaraan yang saya kemukakan di artikel saya itu menggunakan virus, namanya Adenovierus. Virus itu tepat sasaran karena langsung menginfeksi sel. Namun yang kita pakai hanya bungkusnya saja, penyakit berbahayanya sudah dihilangkan terlebih dahulu,” jelas Radya melalui keterangan resmi yang diterima Republika.co.id Selasa (6/11).

Sejauh ini, Radya menilai, teknologi medis di Indonesia sudah cukup tertinggal. Di Indonesia pengobatan semacam ini belum diterapkan atau bisa jadi masih dalam tahap penelitian. Ketika di Indonesia masih symtomatik (bergantung kepada obat), di luar negeri sudah mendalam hingga tahap molekuler atau langsung menyasar kepada akar permasalahannya.

“Ada atau tidaknya pengobatan seperti ini berawal dari kita siap atau tidak. Awalnya kita mengajukan ide-ide seperti ini untuk menyiapkan. Ketika Indonesia sudah siap secara mental, mungkin bisa diimplementasikan meski harus menempuh waktu lama dan biaya mahal," tegas dia.

Radya menambahkan, ketika seseorang terkena kanker, maka daya produktifitasnya menurun. Kondisi ini membuat individu terkait tidak bisa bekerja sebagaimana manusia normal lainnya. Ketika tidak bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, maka keluarganya yang akan menanggung pengobatannya. Hal ini membuat pasien ketergantungan kepada keluarga dan obat dengan waktu yang cukup lama.

“Kita harus mulai mengobati pasien dengan sistem holistic-komprehensif, yaitu pengobatan secara menyeluruh hingga sampai kepada kondisi ekonomi, produktifitas, dan kesehatan pasien. Bukan begitu sembuh langsung beres. Tapi aspek-aspek lain juga harus dipikirkan,” pungkas Radya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement