Selasa 06 Nov 2018 19:46 WIB

Membaca Faktor Penyebab Penguatan Rupiah

Rupiah ditutup menguat ke level Rp 14.804 per dolar AS.

Rep: Iit Septyaningsih/Lida/Antara/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Angin segar mendorong laju rupiah bergerak ke arah positif dalam beberapa hari terakhir. Pada Selasa (6/11), rupiah ditutup menguat pada akhir perdagangan.  Seperti dilansir dari data Bloomberg, mata uang Garuda tersebut menguat hingga 1,16 persen atau 173 poin di Rp 14.804 per dolar AS.

Sebelumnya pagi tadi nilai tukar rupiah juga dibuka menguat 29 poin atau 0,19 persen di Rp 14.948 per dolar AS. Kemudian sekitar pukul 11.00 WIB, rupiah menguat 120 poin atau 0,8 persen ke Rp 14.857 per dolar AS.

Posisi tersebut tidak berubah hingga pukul 14.00 WIB. Selanjutnya jelang penutupan rupiah semakin menguat ke posisi Rp 14.815 per dolar AS.  Penguatan saat ini memberi sinyal tekanan global terhadap mata uang Garuda sudah berkurang. Namun bukan berarti tekanan itu akan berhenti.

Pemerintah harus tetap waspada meski rupiah dalam kondisi menguat. Pemerintah juga dinilai perlu memperbaiki defisit neraca berjalan untuk menjaga stabilitas perekonomian di dalam negeri.

Baca juga, Ekonom Ini Optimistis Tekanan Terhadap Rupiah akan Mereda. 

Sebagai perbandingan, meski menguat angka ini masih jauh lebih tinggi atau selisih sekitar Rp 1.300 dibandingkan pada posisi pada awal tahun di level Rp 13.542 per dolar AS.

Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo di Jakarta, Selasa (6/11), berlanjutnya penguatan kurs rupiah dari level Rp 15 ribu per dolar AS ke level Rp 14.800-Rp14.900 per dolar AS turut ditopang ekspetasi meredanya perang dagang.

Ini menyusul rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping di perhelatan G-20.  Selain itu juga realisasi pertumbuhan ekonomi domestik kuartal III 2018 yang sebesar 5,17 persen.

"Pertemuan antara Presiden Trump dengan Xi Jinping untuk memberikan paling tidak solusi yang positif, sehingga dampaknya juga positif kepada mata uang negara berkembang," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo di Jakarta, Selasa.

Realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 yang sebesar 5,17 (tahun ke tahun) persen juga memberikan deskripsi bahwa konsumsi, investasi dan ekspor masih terus bertumbuh. Meskipun, kata ia, hal itu belum bisa terakselerasi signifikan dan masih dihantui meningkatnya laju impor.  "Tapi sebenarnya angka pertumbuhan kuartal III itu masih cukup tinggi karena dorongan dari permintaan domestik, investasi dan konsumsi juga masih besar," ujar Dody.

Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping, dua pemimpin negara raksasa ekonomi dunia, merencanakan pertemuan di sela-sela pertemuan Grup-20 di Argentina pada akhir November 2018. Pertemuan itu diklaim untuk membahas solusi perang dagang antara dua negara yang telah terjadi sejak awal tahun.

Semua pelaku pasar keuangan global kini menanti perkembangan dari rencana pertemuan pemangku kebijakan paling berpengaruh itu. "Semua berharap positif terhadap pertemuan antara Presiden AS Trump dengan Xi Jinping (Presiden China) untuk memberikan paling tidak solusi yang positif, sehingga dampaknya juga positif kepada mata uang negara berkembang, rupiah pun mengalami penguatan," ujar Dody.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement