REPUBLIKA.CO.ID
Oleh: Lintar Satria, Fergi Nadira
Iran akan memberikan perlawanan terhadap sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS). Kepala Komandan Garda Revolusi Iran Mayor Jendral Mohammad Ali Jafari mengatakan sanksi di sektor minyak ini adalah perang psikologis.
Menurut dia, AS meluncurkan perang psikologis dan ekonomi dalam upaya terakhir mereka. "Tapi, plot dan rencana Amerika atas sanksi ini akan dikalahkan melalui perlawanan yang terus dilakukan," kata Jafari dalam perayaan pengepungan Kedutaan Besar AS pada 1979, di stasiun televisi Iran, Ahad (4/11).
Sanksi AS yang ditujukan untuk sektor minyak dan perbankan itu sebagai upaya AS mengendalikan pengembangan nuklir dan rudal Iran. Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Iran telah mengeluarkan pernyataan tentang sanksi ini.
“Tidak ada ruang untuk memiliki kekhawatiran, kami harus menunggu dan melihat bahwa AS tak akan dapat melakukan tindakan apapun terhadap bangsa Iran yang besar dan berani,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahram Qassemi.
Qassemi mengatakan, upaya AS terhadap Iran adalah hal sia-sia. Menurut dia, Negeri Paman Sam tak memiliki kemampuan lebih untuk menempatkan negara-negara serta perusahaan ekonomi global di bawah tekanan.
Banyak negara yang sudah melakukan pembicaraan dengan Iran untuk menghindari sanksi AS. Rusia, Prancis, Inggris, Cina, dan Jerman termasuk negara-negara yang telah membuat kesepakatan dengan Iran.
Salah satu sekutu terkuat AS di Asia, yaitu Korea Selatan (Korsel) pun sudah meminta AS untuk melonggarkan sanksi tersebut. Pasalnya, jika sanksi itu diberlakukan, banyak perusahaan dari Negeri Gingseng yang akan terdampak.
Saat ini, banyak transaksi dan kesepakatan kerja sama antara Korsel dan Iran yang terhenti atau terputus karena sanksi AS atas Iran. Rusia menegaskan, akan tetap melakukan kerja sama dengan Iran, meski sanksi AS tersebut sudah mulai berjalan.
"Kami mencari mekanisme yang memungkinkan untuk terus mengembangkan kerja sama dengan mitra kami Iran,” ujar Menteri Energi Rusia Alexander Novak seperti dilansir di IRNA.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan, AS gagal menegaskan kembali dominasinya atas Iran sejak Revolusi Islam 1979. "Dunia menentang setiap keputusan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump," kata dia seperti dikutip dari the Guardian.
Uni Eropa, Prancis, Jerman, dan Inggris menyesalkan keputusan Trump yang memberlakukan kembali sanski atas Iran melalui pernyataan bersamanya pada Jumat (2/10). "Tujuan kami adalah melindungi para pelaku ekonomi Eropa yang punya hubungan komersial yang sah dengan Iran, sesuai dengan legislasi Eropa dan resolusi Dewan Keamanan PBB," ujar Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini.
Meski begitu, Israel mendukung sanksi AS atas Iran. Pada Sabtu (3/10), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji Trump karena menerapkan kembali sanksi tersebut.
Netanyahu bahkan berterima kasih kepada Trump atas langkah tersebut. "Selama bertahun-tahun saya telah menyerukan sanksi itu untuk diberlakukan kembali terhadap rezim teroris Iran, yang mengancam seluruh dunia," kata Netanyahu.
Mulai hari ini, Washington memberlakukan kembali sanksi-sanksi terhadap penjualan minyak dan sektor perbankan Iran. Tujuannya untuk memaksa Iran menghentikan program nuklir dan rudal balistiknya.
Pemerintahan Trump mengizinkan delapan negara pengimpor minyak tetap membeli minyak dari Iranselama sanksi diberlakukan. Cina, India, Korsel, Turki, Italia, Uni Emirat Arab, dan Jepang menjadi pengimpor minyak Iran.
Sementara Taiwan sesekali membeli kargo minyak mentah Iran, meski dalam jumlah kecil. Menteri Perminyakan India Dharmendra Pradhan mengatakan, negaranya dan importir minyak lain mendapat manfaat dari keringanan AS itu.