Senin 05 Nov 2018 06:07 WIB

Hijrah

Kita hijrah dari makanan konsumtif ke produktif.

Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID  

Oleh: Iman Sugema

Kata hijrah tiba-tiba meledak menjadi pembicaraan di dunia maya. Pasalnya, Presiden Joko Widodo mengajak kita semua, terutama anak muda dan pengusaha muda, untuk hijrah. Hijrah dari pesimisme ke optimisme, dari yang konsumtif ke yang produktif, dari yang marah-marah ke yang sabar, sabar tapi kerja keras.

Hijrah dari yang senang perpecahan ke yang senang persatuan. Hijrah dari yang senangnya monopoli (diberi fasilitas) ke yang senangnya kompetisi. Hijrah dari yang individualistik kepada kolaborasi, kerja bersama-sama.

Tentunya dalam situasi politik yang sedang memanas, ajakan tersebut lebih banyak dimaknai sebagai pesan politik. Namun, dalam tulisan ini saya hanya akan membahasnya dari sudut pandang ekonomi saja. Aspek politiknya saya serahkan ke masing-masing pembaca.

Kita mulai dari hijrah konsumtif kepada yang produktif sebagai bagian dari jawaban atas permasalahan ekonomi yang sedang kita hadapi sekarang dan di masa yang akan datang. Sejak 2011, rupiah terus melemah secara persisten. Bersamaan dengan itu, defisit neraca transaksi berjalan semakin memburuk. Artinya, pelemahan rupiah berasosiasi dengan defisit neraca transaksi berjalan.

Defisit neraca transaksi berjalan pun sebetulnya bukan masalah, tetapi hanya akibat dari memburuknya saving-investment gap. Uang yang yang kita kumpulkan dalam bentuk tabungan domestik tidak cukup untuk membiayai investasi. Ada yang menginterpretasikan sebagai over-investment atau kita terlalu bersemangat untuk melakukan investasi. Ada juga yang mengatakan justru tabungan terlalu rendah atau under-saving.

Akan tetapi, kalau kita mengacu pada Cina yang memiliki tingkat investasi lebih dari 40 persen dari produk domestik bruto (PDB), kita sama sekali jauh dari gejala over-investment. Sebagai catatan, investasi domestik Indonesia berada di bawah 30 persen dari PDB. Sekali lagi, masalah yang kita hadapi adalah sumber dana dari tabungan tidak mencukupi untuk membiayai investasi. Hal seperti ini bisa terjadi manakala investasi sedang tinggi atau rendah.

Jadi, untuk mengatasi hal seperti ini, yang diperlukan adalah mengerem tingkat konsumsi. Memang ada kekhawatiran melemahnya konsumsi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kemungkinan itu bisa kita tekan dengan cara expenditure switching, dari konsumtif ke investasi produktif dan dari membeli barang impor ke membeli barang domestik. Ini bukan masalah nasionalisme. Ini lebih tentang cara berpikir untuk kemajuan pada masa yang akan datang.

Kalau kita hanya berpikir mengenai hari ini, maka mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memacu konsumsi adalah cara yang paling mudah. Namun, kalau kita berpikir untuk kepentingan jangka menengah panjang, konsumsi sebaiknya agak ditekan agar investasi bisa sepenuhnya dibiayai dengan uang dari tabungan domestik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement