REPUBLIKA.CO.ID, SIGI -- Dua puluh pasien sudah ditangani Dr Ideham Said di Rumah Sakit Lapangan (RSL) Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (28/10). Keluhan mereka bermacam-macam. Dari patah tulang, infeksi saluran pernapasan hingga penyakit kulit. Menurut Ideham, kebanyakan menderita sakit diare.
Sudah tiga hari Ideham bertugas menjadi relawan. Dengan rata-rata penanganan 20 pasien,total jumlah pasien yang ditangani Ideham mencapai 60 orang. "Saya datang dari Jumat karena ada Jumat Agung (libur) di Sorong. Jadi saya dapat izin Senin. Cuma sehari (izin),"jelas Ideham saat berbincang dengan Republika di RSL BSMI, Jalan Pramuka, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Untuk terbang ke Sulawesi Tengah, dokter umum itu pun mesti melakukan aksi penggalangan dana di Sorong. Uang yang masuk akan digunakan untuk membeli tiket pesawat dan bantuan logistik. Ideham tidak mengambil uang operasional atau honor dari dana fundrising yang dia kumpulkan. "Kita fundrising dulu kalau tidak ya enggak berangkat,"jelas dia.
Dokter Puskesmas Malanu, Kota Sorong, Papua Barat itu pun meninggalkan tugasnya di Sorong demi menjadi relawan bencana. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Sorong tersebut pun harus rela kehilangan pendapatannya sebagai dokter ketika menjadi relawan.
Jika dia bertugas sebagai dokter dalam sehari di Sorong, dia akan menerima uang Rp 200 ribu untuk pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Untuk pasien umum, dia mendapatkan Rp 50 ribu per orang. Dokter berusia 35 tahun itu juga mendapatkan tunjangan harian lain seperti lauk pauk dan sebagainya yang dibayar per bulan.
Pundinya harus berkurang sebanding dengan masa tugasnya sebagai relawan. Terlebih, Ideham sebelumnya sudah menjalani tugasnya di RSL BSMI di Sigi pada gelombang pertama. "Saya masuk sebagai tim aju tiga, sejak hari ketiga bencana tsunami. Ketika itu harus izin sepekan,"jelas dia.
Bukan hanya Ideham, ada empat dokter lainnya yang menjadi relawan di RSL BSMI. Umumnya, mereka adalah dokter umum yang bekerja di puskesmas atau klinik. Ada juga perawat, apoteker, hingga analis kesehatan. Relawan lainnya merupakan mahasiswa. Beberapa diantara mereka harus cuti dari pekerjaan demi melakukan tugas kemanusiaan.
Ideham pun mengungkapkan, relawan butuh perlindungan ketika bertugas di daerah bencana. Perlindungan yang dimaksud, ujar dia, yakni perlindungan kesehatan, keamanan hingga ekonomi. "Kita ini kan mau bantu orang dan pemerintah. Tapi punya kewajiban juga untuk cari nafkah,"jelas dia.
Dr Basuki Supartono SpoT merupakan dokter spesialis orthopedi yang menginisiasi pendirian RSL ini. Ketua Majelis Pertimbangan Anggota BSMI tersebut mengoperasi lima pasien patah tulang di RSL BSMI pada Ahad (28/10). Semua pasien dioperasi dengan gratis. Padahal, biaya operasi untuk kasus patah tulang di rumah sakitnya di Jakarta mencapai Rp 10 juta.
Dia pun mengaku tak bisa berlama-lama untuk menangani pasien di daerah bencana. Basuki masih harus menjalankan kewajibannya sebagai dosen berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dia mengaku masih banyak pasien patah tulang yang belum tertangani.
"Di sini (Sigi) saya izin sehari tambah sabtu-Ahad. Waktu di Lombok malah harus cuti sepekan,"jelas dia saat berbincang dengan Republika.co.id.
Menurut Basuki, bukan hanya relawan medis yang harus meninggalkan pekerjaannya ketika bencana tiba. Berbagai relawan dari profesi lainnya seperti PNS, guru, hingga sopir mesti mengorbankan hak cuti mereka demi terjun sebagai relawan bencana. Beberapa diantaranya bahkan membuat surat sakit demi bisa menunaikan tugas kemanusiaan. Padahal, ujar Basuki, para relawan tersebut sudah membantu pemerintah dalam hal penanganan bencana.
PP No 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil memang mencantumkan sanksi berat bagi pegawai yang melanggar aturan kerja. Bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah, mereka akan terkena sanksi teguran hingga penurunan tingkat jabatan.
Basuki yang juga merupakan aparat sipil negara (ASN) menyarankan adanya regulasi untuk mengatur hak dan kewajiban para relawan. Minimal, ujar dia, mereka bisa mendapatkan izin sehingga aktivitas mereka bisa berjalan dengan legal. Tak hanya itu, Basuki menyarankan adanya semacam insentif bagi para relawan yang sudah bekerja untuk penanggulangan bencana. "Kalau bisa ada UU Kerelawanan. Dengan regulasi, hak-hak para relawan terlindungi. Di Amerika sudah ada aturan semacam ini,"jelas Basuki.