REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pdt Albertus Patty menegaskan lembaganya tidak setuju dengan beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan. Aturan dalam pasal 69 dan 70 RUU tersebut dianggap tidak relevan jika dikaitkan dengan sistem sekolah minggu dan katekisasi yang selama ini diterapkan gereja.
“Kami tidak keberatan dengan RUU pesantrennya, tapi tidak usah kaitkan gereja dalam RUU itu, karena sekolah minggu itu berbeda dengan pesantren,” jelas Albertus saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (28/10).
Menurut dia, jika RUU ini memang dapat meningkatkan kualitas pondok pesantren dan membawanya ke arah yang lebih baik, maka PGI akan sangat mendukung. Namun, jika menyinggung peraturan mengenai syarat pendirian sekolah minggu, dia mengganggap pemerintah sudah terlalu ikut campur dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing tempat peribadatan.
“Menurut kami pemerintah sudah terlalu dalam mengurusi urusan keagamaan, karena itu urusan peribadatan yang seharusnya dapat diatur secara independen,” ujar dia.
Albertus menjelaskan, sekolah minggu merupakan kegiatan peringatan yang diberikan khusus dengan materi yang telah disesuaikan dengan usia anak. Nama sekolah minggu merupakan adaptasi dan terusan dari budaya Belanda.
Sedangkan, katekisasi adalah kegiatan peribadatan yang dilakukan seseorang sebelum dibaptis dan masuk Kristen. Katekisasi dapat dikatakan sebagai pembinaan keagamaan dengan waktu yang variatif dan sesuai dengan kebutuhan tiap orang.
Albertus mengatakan, melalui katekisasi seseorang juga dapat dinyatakan lulus dan diterima sebagai warga gereja. “Jadi jelas itu (sekolah minggu dan katekisasi) berbeda dengan pesantren. Kalau pesantren, sistemnya serupa seperti sekolah, bahkan lulusannya diakui dan setara dengan sekolah formal. Kalau kita (gereja) tidak ada begitu,” jelas dia.
Baca juga:
* RUU Pesantren Ada Usulan Pemisahan, Ini Kata Kemenag
* PGI Keberatan Sekolah Minggu Disetarakan dengan Pesantren
Sementara itu, Sekertaris LP2 PP Muhammadiyah Muhbib Abdul Wahab mengatakan RUU tentang pendidikan keagamaan sebaiknya berdiri sendiri karena mengundangkan penyelenggaraan pendidikan agama Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya. Sementara, idealnya RUU tentang pesantren memberikan tiga kontribusi penting.
Pertama, regulasi yang memberdayakan sistem pendidikan pesantren. Dia memisalkan, ada standarisasi pesantren secara nasional. Kedua, apresiasi pengakuan para kiai dan ustaz oleh pemerintah dengan pemberian sertifikasi, serta pemberi tunjangan kesejahteraan.
Ketiga, sudah saatnya Kemenag melakukan akreditasi pesantren. Pemerintah dapat menyiapkan instrumen akreditasi yang memungkinkan pesantren dikelola dengan manajemen modern dan kepemimpinan transformasional serta efektif.