Ahad 28 Oct 2018 09:36 WIB

Tidak Ada yang Tersisa di Petobo, Sulawesi Tengah

'Peristiwa itu terlalu cepat, seperti kilat,' kata Rini.

Warga terdampak likuifaksi beraktivitas di tenda Kamp Pengungsi Terpadu di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (19/10/2018).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Warga terdampak likuifaksi beraktivitas di tenda Kamp Pengungsi Terpadu di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (19/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, Cahaya bulan menerangi atap-atap rumah tersisa yang menyembul dari lumpur. Rini (43 tahun) bersama bapak, kakak, adik dan keponakannya bertahan di atas salah satu bumbungan (atap) tersebut.

Dari sana, ia dan yang lainnya masih bisa mendengar teriakan meminta tolong dari mereka yang terjebak di bawah reruntuhan rumah-rumah yang terendam lumpur. Namun, mereka bergeming.

Sudah satu jam peristiwa mengerikan itu berlalu. Akan tetapi, rasa takut membuat tubuh mereka seperti kaku. Tidak ada yang berani bergerak, terlebih goncangan-goncangan gempa masih terasa.

Hanya doa yang tidak terputus di antara tangis saja yang bisa mereka lakukan di sana. Memohon agar apa yang baru saja mereka hadapi tidak terulang lagi. Rini yang memiliki nama lengkap Patrini Hadjli ini merupakan warga Petobo.

Ia adalah penyintas dari peristiwa likuifaksi yang terjadi di Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, pascagempa berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR) mengguncang timur laut Donggala pada 28 September 2018. Mata Rini memang terlihat sedikit merah siang itu.

Ia berada di bawah terpal yang dinaungi pohon-pohon coklat di Dusun Ranoropa, Desa Loru, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Saat itu, ia lancar bercerita tentang apa yang menimpanya sekitar 10 hari sebelumnya.

"Peristiwa itu terlalu cepat, seperti kilat," ujar Rini.

Sore sebelum bumi berguncang hebat, Rini baru saja menyelesaikan tugas menyiapkan makan malam dilanjutkan dengan membersihkan tubuhnya setelah seharian mengajar di SMK 4 Palu. Sambil menunggu kumandang azan magrib ia mengambil telepon pintarnya dan mulai mencari berita-berita gempa berkekuatan 6 SR dan 4 SR yang terjadi sekitar pukul 14.00 WIB dan pukul 16.00 WIB.

Ia sempat melihat bapaknya keluar dari rumah dan berjalan menuju masjid yang kebetulan ada di seberang rumahnya. Saat itulah gempa besar terjadi.

Tanah yang ia pijak bergoyang, membuat dirinya pusing dan sempat terjerembab, telepon pintar digenggamannya pun terlempar. Saat itu, tembok kanan dan kiri rumah mulai roboh, nyaris menimpanya.

Ia segera berdiri dan bergeser ke dekat pohon mangga di depan rumah. Keponakannya yang hendak berlari menghampiri dilarangnya, dan diminta segera berlari keluar pagar karena takut tertimpa robohan rumah.

Saat itulah, tanah mulai terbuka di bawah pohon mangga tempat dirinya berdiri. Rini segera melompat ke kanan dan ke kiri mencari jejakan tanah yang tidak terbuka sambil menyuruh keponakannya yang berumur delapan tahun melakukan hal sama.

Akan tetapi, tidak sampai satu meter melangkah tanah sudah terangkat. Niat untuk berlari ke arah jalan di depan rumah batal karena tanah sudah kepalang terangkat dan jalan aspal yang terlihat dari tempat ia berdiri tampak terlipat.

"Astagfirullahaladzim. Jangan ke situ nak," teriak Rini kepada ponakannya.

Ada jalan lain sekitar 10 meter di dekat mereka. Segera dinaikinya tanah terangkat di depannya tadi bersama keponakan dan lainnya. Namun, iparnya yang tadi masih berpegangan pada dahan pohon mangga yang semakin condong terjebak dalam tanah yang tadi terbuka yang tiba-tiba mulai tertutup.

Salah satu kaki Rini juga sempat terbenam dalam tanah, segera dikeluarkannya dan naik ke jalan yang terangkat tadi. Dari sanalah, dirinya melihat iparnya mulai terbenam dalam tanah.

Tiba-tiba tanah yang ia dan ponakannya injak kembali terangkat, dirinya kembali merasa pusing. "Mungkin tanahnya sudah jalan. Kita sudah dibawa arus, karena pas coba berdiri kayak goyang-goyang."

Saat tanah yang dipijak mulai bergeser itulah ia bertemu lagi dengan ayah dan kakak perempuannya. Karena sadar adik perempuannya tidak ada, Rini mulai memanggilnya.

"Rika (Wahyuni) di mana?" teriak Rini. Jawaban langsung terdengar oleh adiknya yang ternyata berada di bawah reruntuhan.

Kakak perempuan Rini, Dayanti Datu Adam, yang biasa disapa Mira, segera mencoba menolong Rika. Rini dan keponakan serta ayahnya melihat upaya penyelamatan adiknya yang separuh badannya tertimpa reruntuhan rumah.

Saat itu ia dan keponakannya melihat tanah di sekitar Rika mulai mengeluarkan air. "Bunyinya kencang. Pek, pek, pek, pek," kata Rini mencoba menirukan bunyi air yang mulai keluar dari dalam tanah tersebut.

Mira terus mencoba menyelamatkan Rika, dengan menguras air yang meninggi. Namun, dirinya tidak mampu menandingi kecepatan air yang keluar dari tanah.

"Karena air tidak bisa dibendung lagi adik tenggelam, mungkin dalam posisi berdiri. Sebenarnya bisa (diselamatkan) tapi karena air naik terus bercampur lumpur ya sudah. Saya bilang, dik kau sabar ya, dia (Rika) berteriak sakit, saya terus bilang sabar ya dik sabar," kata Rini.

Mira yang saat itu berupaya menguras air di sekitar Rika mengatakan air yang sudah berhasil dikeluarkan ternyata kembali lagi. Sampai akhirnya, menurut Mira, Rika berkata: "adik dan bapak kasih selamat saja, jaga bapak. Jangan marah-marah ke kakak Rini, jaga dia."

Ahad (7/10), sembilan hari setelah peristiwa tanah yang mencair tersebut Mira mengatakan Rika akan "dijemput". Ada petugas yang akan mengeluarkannya dari reruntuhan di Petobo.

Genap 21 hari Rika Wahyuni (20) terjebak dalam reruntuhan dan lumpur, akhirnya Tim SAR gabungan dapat mengevakuasi jasadnya bersama enam lainnya. Kini, doa mengalir untuknya dan mereka yang terbaring di pekuburan massal Kelurahan Poboya, Kota Palu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement