Sabtu 27 Oct 2018 11:40 WIB

Mahar Politik Jadi Suburnya Praktik Korupsi Kepala Daerah

Pengawas pemilu perlu memberikan sanksi tegas kepada pelaku mahar politik.

Rep: Dian Fath R/ Red: Indira Rezkisari
Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra mengenakan rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra mengenakan rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum Puskapsi, Bayu Dwi Anggono mengatakan, terus terjeratnya kepala daerah dalam kasus korupsi sangat merugikan Presiden Joko Widodo yang dikenal bersih merakyat. Menurutnya, salah satu penyebab masih suburnya kepala daerah melakukan korupsi kembali lagi pada miskinnya kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik.

Kemudian, banyak pula kepala daerah yang menjalankan politik balas budi, sehingga saat terpilih, kepala daerah tersebut sulit untuk independen. Adapula beberapa kepala daerah masih menjalankan dinasti politik

Selain itu, lanjut Bayu, penyebab utamanya adalah mahalnya biaya politik termasuk adanya mahar politik.

"Untuk mahar politik, catatan ICW ada 4 kasus pada Pilkada serentak kemarin, pertama La Nyala, Dedi Mulyadi, lalu di Cirebon ada Purnawirawan Polisi, terakhir ya perpecahan Partai Hanura, keempat kasus itu tidak lepas dari mahar politik," terangnya dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (27/10).

Menurutnya, meskipun mahar politik dilarang dalam UU Pilkada, namun pengawas Pemilu seperti menutup mata untuk memberikan sanksi pidana. "Sampai saat ini Bawaslu tidak ada penindakan mahar politik. Bawaslu seperti menghindar, tak ada etiket dari awal menyelesaikan mahar politik," ucapnya.

Sementara, Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono menegaskan saat ini partainya tidak mengenal mahar politik. Menurutnya penyebab masih banyaknya kepala daerah korupsi karena biaya politik yang mahal. "Di Golkar kami tidak kenal mahar politik," ucapnya.

Sementara Ketua DPP Partai Perindro Wibowo Hadowardoyo menilai, jika mahar politik masih ada , lebih baik calon kepala daerah maju secara independen karena biaya politik yang lebih murah. Menurutnya Pilkada serentak saat ini bisa mengurangi praktik-praktik seperti itu.

"Sulit untuk mahar politik di Pilkada Serentak saat ini. Sehingga berkurang. Hanya saja risikonya adalah seleksi kader yang sulit," ujarnya.

Dalam dua pekan ini dua kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK, yakni Bupati Bekasi Neneng Hasanah dan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra. Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra menjadi kepala daerah ke-100 dijerat KPK sejak lembaga antikorupsi itu berdiri hingga saat ini. Selama 2018 ini, Sunjaya merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyesalkan masih adanya kepala daerah yang terjerat korupsi. Menurut KPK, korupsi yang dilakukan kepala daerah telah merugikan masyarakat. Apalagi, sebagian kepala daerah, termasuk Sunjaya diduga menggunakan suap yang mereka terima untuk kepentingan kontestasi Pilkada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement