Sabtu 27 Oct 2018 00:20 WIB

Beruntunglah Memiliki Bahasa Indonesia

Perlu pembakuan bahasa Indonesia untuk ranah tertentu agar bahasa tetap lestari.

Esthi Maharani
Foto: doc pribadi
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Ende, Nusa Tenggara Timur. Waktu itu, saya mengikuti kunjungan kerja Wakil Presiden, Boediono untuk meresmikan patung dan beberapa situs bersejarah Sukarno. Beberapa di antaranya patung Sukarno yang berada di bawah pohon sukun dan menghadap ke laut. Di bawah pohon sukun itulah, Sukarno terinspirasi mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara. Selain patung, ada pula rumah pengasing Bung Karno yang sudah diperbaiki.

Itu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di NTT. Jujur saja, saya sama sekali tidak mempunyai bayangan tentang tempat pengasingan Bung Karno selama empat tahun itu. Tapi nyatanya, Ende telah menjadi salah satu kota yang paling berkesan yang pernah saya datangi. Selama beberapa hari di sana, saya pun paham mengapa Bung Karno bisa terinspirasi untuk melahirkan Pancasila.

Satu yang saya ingat dari kunjungan itu adalah betapa beruntungnya bangsa Indonesia memiliki bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Meski sudah berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia dan terbiasa teralienasi dengan percakapan-percakapan dalam bahasa daerah, di Ende justru saya tersadarkan pentingnya Bahasa Indonesia di tengah keberagaman suku dan bangsa.

Dulu, saya agak khawatir tidak bisa berkomunikasi dan berbaur dengan warga setempat. Apalagi saya sama sekali tidak memiliki kosa kata bahasa lokal. Bahkan mendengarnya saja pun saya merasa asing. Tetapi, bahasa Indonesia menjadi penyelamat.

Sayangnya, ancaman bukan berasal dari banyaknya bahasa daerah di Indonesia. Ancaman justru berasal dari gempuran bahasa asing seperti bahasa Inggris karena masifnya globalisasi. Saya berpendapat diperlukan pembakuan bahasa Indonesia untuk ranah-ranah tertentu agar bahasa Indonesia tetap lestari. Apalagi kedudukan bahasa Indonesia sangat penting dan tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 32 dan 36 bahwa Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa negara yang merdeka.

Dalam sejarahnya pun, bahasa Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang sebelum seperti sekarang. Sejarah mencatat kesadaran berbahasa Indonesia mulai diangap penting ketika digelarnya Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 25-27 Juni 1938. Dikutip dari Badan Bahasa Kemendikbud, Kongres Bahasa Indonesia I tersebut diselenggarakan atas prakarsa perseorangan, yaitu Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo, wartawan harian Soeara Oemoem Soerabaja dan Seomanang Soerjowinoto, Direktur Perguruan Rakyat. Kongres itu terselenggara untuk menindaklanjuti Kongres Pemuda 1928 yang menyepakati bahwa pemuda-pemudi Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Putusan penting Kongres Bahasa Indonesia I di antaranya; kongres menyetujui untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk undang-undang negeri (embrio bahasa Indonesia sebagai bahasa negara), kongres menyetujui pengambilan kata-kata asing ilmu pengetahuan yang pada kemudian hari diserahkan pada satu badan, kongres menyepakati bahwa untuk sementara waktu ejaan baru belum diperlukan sehingga ejaan yang digunakan adalah Ejaan van Ophuijsen, dan kongres menunjuk suatu komisi untuk mengurus rencana pendirian Institut Bahasa Indonesia

Baru 16 tahun kemudian, digelar Kongres Bahasa Indonesia II. Kali ini, kongres digelar di Medan, Sumatra Utara pada 28 Oktober hingga 2 November 1954. Kongres dibuka oleh Presiden Sukarno. Keputusan penting dari Kongres Bahasa Indonesia II antara lain: kongres menyarankan agar dibentuk badan yang bertugas untuk menyempurnakan bahsa Indonesia, kongres mengusulkan agar diadakan pembaruan ejaan, kongres memberikan perhatian pada pemakaian bahasa dalam undang-undang dan adminsitrasi, dan kongres menyarankan agar pemakaian istilah ilmiah internasional dan penggalian istilah dari bahasa daerah yang serumpun digiatkan. Sebagai tindak lanjut keputusan kongres tersebut, pemerintah menyusun Panitia Pembaruan Ejaan Bahasa Indonesia. Hasil kerja panitia ini menjadi embrio Ejaan Yang Disempurnakan yang diresmikan pada tahun 1972.

Sebentar lagi, akan digelar Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XI yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, 28 hingga 31 Oktober 2018. Tema yang diusung yakni “Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Kongres Bahasa Indonesia merupakan acara berkala yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali dan merupakan salah satu solusi pendorong kebijakan sekaligus penyadaran kepada banyak pihak terkait dengan upaya peningkatan peran bahasa dan sastra Indonesia sebagai peneguh identitas bangsa di tengah arus globalisasi.

Mumpung akan ada kongres Bahasa Indonesia, pekerjaan-pekerjaan rumah yang masih tertunda bisa segera dibenahi dan diselesaikan. Yang paling utama adalah penguatan dari pemerintah dalam menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik. Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Dadang Sunendar mengatakan hingga saat ini belum ada peraturan yang mengatur denda atau sanksi pada kesalahan bahasa di masyarakat.

Padahal, berbagai upaya telah dilakukan untuk menjadikan ruang publik ramah bahasa Indonesia. Seperti kerja sama dengan beberapa dinas-dinas dan badan terkait yang ada di beberapa daerah. Tetapi kesalahan bahasa pun masih sering ditemukan. Celakanya, Pemda tidak terlalu peduli dan memperhatikan urusan tersebut. Badan Bahasa pun tidak punya wewenang menegur atau menghukum.

“Pada akhirnya, upaya perbaikan bahasa di ruang publik itu selalu tersendat," ungkap Dadang.

Ia berharap Peraturan Presiden yang mengatur tentang penguatan bahasa bisa segera diteken oleh Presiden. "Sekarang sedang dirancang Perpres tentang penguatan bahasa Indonesia, katanya tinggal ditandatangani saja (oleh Presiden). Jadi saya harap presiden hadir ke Kongres Bahasa XI nanti sambil menyosialisasikan Perpres tersebut," jelas dia.

Indonesia perlu mencontoh negara lain yang bangga dengan bahasanya sendiri dan mewujudkannya dalam aturan yang ketat, termasuk penggunaan bahasa asing. Salah satunya Prancis. Di sana, surat kabar, film, juga televisi, tak boleh memuat lebih dari 10 persen kata asing. Jika melebihi kuota, akan ada denda yang diberikan. Alhasil, publik Prancis lebih dikenal bangga menggunakan bahasanya daripada bahasa lain.

Di Kanada, tepatnya di Provinsi Quebec penggunaan bahasa Prancis pun diatur sedemikian rupa. Quebec memang menjadi provinsi di Kanada yang menggunakan bahasa Prancis dan menerapkannya di berbagai sektor seperti ekonomi. Misalnya barang-barang impor yang masuk ke Quebec harus memiliki versi dalam bahasa Prancis. Bahkan Quebec memiliki polisi bahasa yang memantau penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Prancis di ruang publik.

Indonesia mungkin bisa meniru peraturan dan mekanisme sanksi dan denda. Bisa pula dengan menghadirkan polisi bahasa yang bertugas berwenang menegur, memeringatkan, ataupun menghukum kementerian/lembaga yang melakukan pelanggaran bahasa. Ini dilakukan demi menimbulkan kebanggaan dalam penggunaan bahasa Indonesia, khususnya dalam konteks pelayanan publik. Dengan demikian, pelayanan publik kepada masyarakat akan lebih mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Saya pun perlu mengutip Manuel Castell dalam bukunya 'The Power of Identity' yang meneliti tentang dua fenomena globalisasi dan etnisitas sebuah negara. Ia menyimpulkan “data shows again and again that the more the world becomes global, the more people feel local”. Artinya, semakin mengglobalnya dunia saat ini, justru semakin kuat perasaan kedaerahan mereka. Dengan kata lain, di era globalisasi saat ini orang-orang cenderung mengidentifikasi diri mereka pertama kali dengan identitas kelokalan mereka sendiri. Identitas itu dapat dilihat dari penggunaan bahasanya.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement