Selasa 23 Oct 2018 23:07 WIB

Penanganan Gigitan Ular di Indonesia Belum Standar WHO

Sebagian besar masih menggunakan metode tradisional dalam penanganannya.

Ular jenis death adder ini sangat mematikan bila terkena gigitannya.
Foto: ABC
Ular jenis death adder ini sangat mematikan bila terkena gigitannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan pertama pada gigitan ular berbisa di sebagian besar rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia hingga saat ini belum menerapkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Sebagian besar masih menggunakan metode tradisional dalam memberikan pertolongan pertama pasien tergigit ular berbisa," kata Ahli toksinologi Tri Maharani di sela acara "The 5th International Symposium on ASEAN Marine Animals and Snake Environment Envenoming Management (AMSEM) 2018" di Yogyakarta, Selasa (23/10).

Menurut dokter spesialis biomedik yang juga Presiden Toxinologi Society of Indonesia ini, cara tradisional yang masih banyak diterapkan antara lain dengan mengikat di atas bagian tubuh yang terkena gigitan, menyedot darah, hingga menyayat bagian yang terkena gigitan.

Penanganan gigitan ular berbisa semacam itu, menurut dia, tidak tepat, bahkan memberikan risiko lebih besar bagi pasien. "Tanpa standar yang jelas, penanganan semacam itu lebih lama membuat pasien sembuh, bahkan bisa mengakibatkan kecacatan, hingga meninggal," kata dia.

Ia menyebutkan, hingga saat ini setidaknya masih kurang dari 40 persen rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia yang telah menerapkan standar WHO, sedangkan 60 persen lebih masih menggunakan cara-cara lama atau tradisional.

"Seperti di Yogyakarta saja masih banyak rumah sakit yang masih menggunakan cara tradisonal, paling hanya beberapa saja yang telah menerapkan standar WHO seperti RSUP Sardjito, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, serta RS Bethesda. Padahal seharusnya kan semuanya bisa menerapkan mulai dari puskesmas," kata pakar toksinologi ini.

Berdasarkan data Remote Envenomation Consultant Service (RECS) pada 2017, menurut dia, jumlah pasien meninggal dunia akibat penanganan yang tidak tepat mencapai 35 orang atau 4,8 persen dari sebanyak 728 kasus pasien terkena gigitan ular berbisa.

"Angka pasien meninggal itu justru dari data penanganan yang ada di rumah sakit," kata dia.

Oleh sebab itu, Tri Maharani berharap seluruh fasilitas kesehatan mulai dari puskemas hingga rumah sakit berbagai tipe, dapat menerapkan strandar WHO dalam menangani pasien tergigit ular.

Pertolongan pertama sesuai standar WHO yakni dengan membersihkan bagian yang terkena gigitan, membalut kencang bagian yang terkena gigitan, serta diberikan serum anti bisa ular.

Selain penangannya berstandar WHO, menurut dia, perlu ada pendataan kasus gigitan ular berbisa secara sistematis seperti pada penyakit berbahaya lainnya seperti TBC.

Dengan data yang akurat, diharapkan bisa lebih fokus, khususnya dukungan anggran pemerintah untuk menyempurnakan penanganan kasus gigitan ular berbisa.

Berdasarkan data Remote Envenomation Consultant Service (RECS) pada 2017 penyakit akibat gigitan ular mencapai 135.000 kasus per tahun di atas kanker yang mencapai 133.000 per tahun.

"Sehingga kasus gigitan ular ini sebenarnya merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia namun selama ini cenderung diabaikan," kata Tri yang juga Koordinator RECS Indonesia ini.

Kegiatan "The 5th International Symposium on ASEAN Marine Animals and Snake Environment Envenoming Management (AMSEM) 2018" yang berlangsung di Yogyakarta 23 hingga 26 Oktober diikuti oleh puluhan tenaga medis dan ahli toksinologi dari negara-negara anggota ASEAN untuk bertukar pengalaman mengenai penanganan gigitan ular dan hewan laut berbisa lainnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement