REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Indonesia Kerja (KIK) berencana untuk mengkaji ulang Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum, terkait pelarangan kampanye di dalam instansi pendidikan perguruan tinggi atau kampus. KIK menilai, kajian perlu dilakukan mengingat kampus merupakan lokasi yang baik untuk membedah visi, misi hingga program kandidat presiden dan wakil presiden.
"Ya ini tentu perosalan dan menjadi kajian kita ke depan untuk melakukan revisi atau perubahan pada UU," kata Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) pemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding di Jakarta, Senin (22/10).
Menurut Karding, pembedahan visi, misi, program serta kegiatan pasangan calon (paslon) di kampus-kampus akan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Dia melanjutkan, kegiatan itu juga akan mendorong partisipasi politik warga kampus terutama mahasiswa.
Karding mengatakan, debat merupakan bagian dari kampanye yang jika dilakukan di instansi pendidikan akan menjadi tradisi politik yang bagus. Dia menambahkan, ini mengingat sejak orde baru kampus diparadigmankan sebagai bagian yang jauh dari politik.
"Makanya mesti memang kita ke kampus saja, jadi tidak boleh kampus itu alergi terhadap politik termasuk juga partai politik," kata Karding lagi.
Pernyataan ini, diungkapkan politikus PKB itu menyusul ajakan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno agar debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) digelar di kampus. Mereka menilai cara itu dinilai lebih efektif ketimbang menggelar debat di hotel dan dihadiri para pendukung.
BPN mengatakan, debat cukup digelar di kampus tanpa mengundang para pendukung serta para panelis. Kampus-kampus yang ada di Indonesia bisa dipilih dan digilir untuk menjadi tempat forum debat. Sementara, mereka yang menguji adalah para akademisi di kampus tersebut serta mahasiwa-mahasiswa yang terpilih dan bukan partisan.
Karding mengungkapkan, di negara-negara Eropa, kampus menjadi istrumen atau tempat debat dengan ketentuan terbatas. Dia mengatakan, paslon dilarang untuk membawa atribut hingga berteriak-teriak atau nemobilisisasi untuk mendukung salah satu kandidat.
"Jadi kita betul-betul membuat ini berimbang, semua paslon atau tim sukses ada dan dihadiri juga oleh komunitas mahasiswa yang beragam jadi dibangun oleh objektifitas dan proporsional," katanya.
Kendati, kegiatan debat di kampus terganjal UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada pasal 280, ayat 1, huruf H. UU tersebut menyebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Karding mengakui jika pembahasan terkait revisi UU tersebut bukanlah perkara mudah. Sebabnya, dia mengatakan, debat capres di kampus-kampus tidak akan bisa serta efektif jika dilakukan pada musik pemilu 2019 ini.
"Saya si setuju saja, cuma kalau melihat keadaan sekarang mungkin tidak akan efektif karena merubah UU itu tidak gampang. Mungkin pemilu berikutnya kami dorong ke DPR yang akan datang untuk melakukan perubahan-perubahan yang kira-kira ideal bagi demokrasi kita ke depan," katanya.
Sebelumnya, Juru Bicara TKN KIK Ace Hasan Syadzily mennyetujui usulan debat capres di kampus-kampus. Hanya saja, dia mengingatkan, ebat itu harus memperhatikan seberapa luas daya jangkaunnya. Dia mengatakan, dampak dari debat itu sebaiknya tidak hanya didapatkan oleh mahasiswa di kampus namun juga masyarakat secara keseluruhan.
Ace berpendapat, rakyat Indonesia juga perlu tahu program-program dari para kandidat Capres-cawapres mereka. Dia mengatakan, debat bukan kegiatan untuk gagah-gagahan konsep seperti ujian tugas akhir kuliah.