REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tersangka kasus suap proyek PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih, mengungkapkan Partai Golkar menggunakan uang sekitar Rp 2 miliar yang berasal dari suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1. Ia mengatakan dana itu digunakan untuk kegiatan selain Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada pertengahan Desember 2017.
Namun, Eni tak merinci kegiatan partai berlambang pohon beringin apa yang menggunakan uang "Mengenai itu yang Rp 2 miliar itu bahwa untuk kegiatan Golkar Munaslub, pra-Munaslub dan kegiatan-kegiatan Golkar lainnya," kata Eni usai diperiksa oleh KPK di Gedung KPK Jakarta, Senin (22/10).
Menurut Eni penyidik KPK telah memiliki sejumlah bukti terkait aliran uang tersebut. Karena itu, ia berpendapat, bantahan dari politisi Golkar tidak akan berpengaruh banyak.
"Ya, enggak apa-apa, tetapi kan di sini sudah punya buktinya," ujarnya.
Ia pun berharap Golkar segera mengembalikan uang suap proyek PLN tersebut. Sejauh ini, Golkar baru mengembalikan uang sejumlah Rp 700 juta kepada penyidik KPK.
"Saya belum dengar (Golkar kembalikan uang lagi), tetapi mudah-mudahan akan segera ada yang mengembalikan," kata Eni.
Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, pada Senin (22/10) penyidik KPK kembali memeriksa Eni sebagai tersangka. "Penyidik terus mendalami pertemuan dan pembahasan dengan para pihak Johannes Budi Kotjo dan lainnya," kata Febri.
KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I, yakni bos Blackgold Natural Recourses Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang sudah menjadi terdakwa, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS), serta mantan Menteri Sosial Idrus Marham (IM).
Eni bersama dengan Idrus diduga menerima hadiah atau janji dari Kotjo. Eni diduga menerima uang sebesar Rp 6,25 miliar dari Kotjo secara bertahap. Uang itu adalah jatah Eni untuk memuluskan perusahaan Kotjo sebagai penggarap proyek PLTU Riau-I.
Penyerahan uang kepada Eni tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian Rp 4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp 2,25 miliar pada Maret-Juni 2018. Idrus juga dijanjikan mendapatkan jatah yang sama jika berhasil meloloskan perusahaan Kotjo.
Kotjo didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.